Tulisan Sebagai Modal

April 14, 2019
Ngainun Naim



Hari jumat malam yang cukup lelah. Seharian menjalani aktivitas yang padat merayap. Waktunya kembali bersama keluarga. Keluarga adalah sumber energi hidup yang sangat besar. Rasanya lelah fisik terobati saat bertemu istri dan anak-anak.

Malam semakin larut. Seluruh anggota keluarga telah terlelap. Saya ingin segera tidur, tetapi rasanya ada yang kurang. Ya, saya belum membaca. Tidak perlu banyak halaman. Cukup beberapa halaman saja sebelum terlelap.

Saya melangkah ke lemari buku dan mengambil buku yang ada. Terpilih sebuah buku yang sudah lama terbeli tetapi belum tuntas dibaca. Rasanya semakin banyak saja buku yang belum terbaca. Jumlah buku yang terbeli benar-benar tidak seimbang dengan yang sudah terbaca.

Buku berat tentu kurang pas dalam kondisi capek. Buku ringan atau buku motivasi rasanya lebih pas. Buku semacam ini tidak memerlukan banyak mengernyitkan dahi tetapi bisa memahami isinya.

Sebuah buku saya ambil. Judulnya Melipat Batas, Kumpulan Kisah Inspiratif Para Pemenang Beasiswa IELSP di Negeri Paman Sam. Buku ini cukup unik. Tidak ada nama penulisnya. Di cover tertulis Keluarga Besar IELSP. Menurut saya, buku ini cukup bagus. Berisi kisah perjuangan nan heroik para mahasiswa dalam meraih beasiswa ke Amerika Serikat.

Saya ambil bagian yang berjudul "The Power of Writing" anggitan Bernando J. Sujibto.
Bagian ini saya baca dulu karena judulnya yang unik, selain karena nama penulisnya cukup saya kenal lewat tulisannya yang dimuat di berbagai media. Saya telusuri kata per kata dari awal hingga usai. Tulisan Bernando dimuat mulai halaman 31 sampai 44.

Ada beberapa hal penting yang saya tangkap dari tulisan tersebut. Pertama, mimpi besar. Bernando lahir di Pulau Madura. Pulau yang unik dengan budayanya yang luar biasa. Di pulau ini Bernando menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah.

Keluarga Bernando bukan keluarga yang berlimpah harta. Keluarga sederhana yang menikmati hidup khas desa. Karena itu bisa dipahami ketika Bernando mengutarakan keinginan untuk kuliah ke Yogyakarta, jawab ibunya cenderung apatis.

“Ibu tidak punya kemampuan apa-apa lagi untuk membantu pembiayaanmu, Nak”.

Namun semangat telah tertancap. Tekad telah terpatri. Resiko dipikir nanti. Saya kira Bernando benar ketika dengan penuh keyakinan, ia menulis: “...aku bisa memulai segalanya dengan keyakinan dan perjuangan”.

Terlihat sekali anak muda berdarah Madura ini memiliki tekad baja. Tekad yang kemudian dibuktikan dengan daya tahannya menghadapi aneka rintangan hidup yang tidak terperi. Ia telah keluar dari tempurung lokalitas Madura, mengembara menuju Yogyakarta, dan membangun imajinasi tentang masa depan yang lebih baik.

Kedua, menemukan lingkungan yang tepat. Jika ingin sukses, menemukan lingkungan yang kondusif sangat penting artinya. Lingkungan bisa menjadi daya dorong eksternal yang luar biasa bagi terbangunnya sebuah pemberdayaan diri.

Lingkungan memang bukan satu-satunya faktor, tetapi lingkungan adalah salah satu faktor pendorong yang tidak bisa diabaikan. Menciptakan lingkungan itu sendiri jelas jauh tidak lebih mudah, meskipun sesungguhnya menciptakan lingkungan jauh lebih penting peranananya dalam membangun budaya secara lebih luas.

Tekad Bernando kuliah ke Yogyakarta tampaknya berawal dari mimpinya untuk belajar di kota pelajar dan mengembangkan potensinya dalam menulis. Bernando merupakan penulis yang berbakat. Ia bercerita bahwa sejak kecil, membaca dan menulis telah menjadi aktivitas yang lekat dalam keseharian. Ia juga rajin menulis puisi dan cerita pendek. Kelas 3 MTs saja puisinya sudah dimuat di majalah sastra berkelas, yaitu Horison. Saat di bangku MTs itu pula, karyanya juga sudah dimuat media lain seperti Majalah Annida, Kuntum, dan Sahabat Pena.

Ia menulis bahwa semangat menulisnya kian hari kian menggila. Jika dulu hanya menulis puisi, ia kemudian merambah jenis tulisan lain, yaitu cerpen dan artikel. Saat di bangku Aliyah, ketika anak-anak seusianya belum mengetahui dunia menulis, ia telah menembus puluhan media ternama. Maka wajar jika banyak yang memberikan apresiasi atas capaiannya yang sedemikian membanggakan.

Sekarang ini literasi begitu marak didengungkan. Ajakan untuk membaca dan menulis disuarakan. Tetapi tampaknya masih membutuhkan usaha yang lebih serius untuk mendapatkan hasil yang menggembirakan. Literasi akan sulit mendapatkan hasil yang maksimal jika berhenti sebagai gerakan tanpa basis tradisi yang kuat. Ya, literasi bukan sekadar slogan dan simbol gerakan, tetapi harus membumi menjadi tindakan. Tindakan yang bertransformasi menjadi tradisi.

Pengalaman hidup Bernando adalah literasi dalam makna yang sesungguhnya. Rajin membaca, lalu menulis dan mengirimkan karyanya ke media massa. Perjuangannya sangat penting untuk diapresiasi karena jarang anak muda seusianya mencapainya. Bernando adalah contoh nyata bagaimana budaya membaca menjadi pintu gerbang untuk mengantarkan pada tradisi menulis yang kuat.

“Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah terbiasa membawa dan membaca buku-buku cerita petualangan yang ada di perpustakaan SD Inpres. Berlanjut ke pendidikan lebih tinggi di pondok pesantren, semangat membacaku semakin menggila”, tulisnya.

Ketika ia mengutarakan niatnya untuk melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, sesungguhnya ia sedang menuju sebuah harapan, yaitu lingkungan yang mendukung kreativitasnya. Meskipun dalam segala keterbatasan, izin orang tuanya adalah gerbang awal Bernando dalam menapaki jalan hidup selanjutnya. Pilihannya tepat karena di Yogyakarta inilah ia mendapatkan lingkungan yang mendukung sepenuhnya pada proses kreatifnya dalam mengembangkan dunia menulis dan studinya.

Di Yogyakarta, ia menemukan komunitas yang mendukung proses menulisnya. Nama komunitas itu adalah Kutub yang diasuh oleh Zainal Arifin Thoha. Kiai muda multitalenta. Sayang, beliau wafat di usia yang masih sangat muda, 35 tahun.

Bernando menulis bahwa di Komunitas Kutub inilah ia menemukan semangat belajar menulis yang begitu menggila. Selama dua tahun—2007 sampai 2009—ia menyebutnya sebagai fase yang “fokus dengan dunia menulis”. Ratusan karyanya berhasil dimuat di berbagai media massa di Indonesia. Bernando menulis, “Di Jogja, tantangan hidup benar-benar terasa, dan aku seperti berperang di sana”.

Ketiga, tulisan adalah modal yang mengantarkan ke jenjang sukses berikutnya. Bisa dikatakan kuliahnya tidak terlalu lancar karena faktor biaya. Tetapi ia memilih membangun modal yang tepat, yaitu memperkuat bahasa Inggris dan tradisi menulis. Tulisan terbukti tidak hanya menguntungkan secara materi dan memberi nama baik, tetapi membuka peluang wisata juga. “...tulisan-tulisanku telah memanggilku ke mana-mana: Sumatera Barat, Jakarta, Semarang, Purwokerto, Australia, bahkan Amerika Serikat”.

Ya, Bernando—dalam buku yang saya baca ini—bercerita bagaimana perjuangannya lolos mendapatkan beasiswa IELSP ke Amerika Serikat. Salah satu modalnya adalah karya tulisnya yang berlimpah, tentu selain bahasa Inggris yang baik. “...karya tulis dapat diandalkan dalam sebuah seleksi ataupun kompetisi beasiswa seperti IELSP”, tulisnya.

Kisah Bernando tampaknya penting menjadi catatan buat generasi muda—sebenarnya generasi tua juga sih—bahwa tulisan adalah modal penting untuk mewujudkan mimpi tertentu. Tulisan yang kita hasilkan menjadi modal yang bisa menjadi nilai lebih. Saat orang lain memiliki modal kepandaian, lobi, atau uang maka pada saat itulah tulisan adalah nilai lebih yang tidak bisa diabaikan.

Trenggalek, 14-04-2019

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.