Mengunjungi Masjid Jami’ Tegalsari Ponorogo
Ngainun Naim
Bersama Dr. Murdianto, M.Si. |
Kamis, 24 Januari
2019, di kantor Pondok Pesantren Ittihadul Ummah Jarakan Banyudono Ponorogo.
Saya baru saja usai mengisi “Seminar Literasi” yang diikuti oleh ratusan
peserta. Panitia mengajak saya ke ruang tamu Pondok Pesantren. Rupanya di ruang
tamu tersebut telah disediakan menu makan siang. Cukup lengkap. Ada sayur
bening, sambal terasi, ayam goreng, tempe, tahu goreng, sayur lodeh, dan telur
goreng.
Saya dipersilahkan
mengambil nasi duluan. Setelah itu saya mengambil sayur bening, sambal terasi,
tahu, dan tempe. Menu makan semacam ini rasanya sungguh nikmat sekali. Kami
makan pada siang yang cukup terik itu dengan lesehan. Makan dan diikuti dengan
perbincangan tentang banyak hal.
Papan nama Masjid Jami' Tegalsari Ponorogo |
Salah satu topiknya
tetap terkait dengan literasi. Berbagai gagasan kita perbincangkan. Rencana kita
diskusikan. Dan berbagai kemungkinkan akan kita jajaki. Tentu muaranya adalah
bagaimana literasi menjadi bagian dari tradisi santri di pesantren ini.
Sambil berbincang
santai, usai topik literasi, saya bilang ke salah satu panitia bahwa saya akan
mampir ke Masjid Agung Kyai Mohammad Besari di Jetis. Saya refleks saja karena
lokasi yang menjadi tempat ziarah spiritual ini posisinya berada di jalan saya
pulang.
Mushola Kyai Ageng Mohammad Besari |
“Nanti tak antar,
Kang”, kata Dr. Murdianto, panitia acara.
“Nggak usah. Aku kan
sambil pulang. Jadi santai saja”, jawabku.
Aku menjawab begitu
karena posisi rumah Dr. Murdianto tidak searah dengan jalan pulang. Namun dia
memaksa.
“Gampang. Nanti aku
tak nyopiri Panjenengan. Mas Sugeng akan nyusul saya di Tegalsari”.
“Ya sudah kalau
begitu. Monggo saja”, jawabku.
Di samping Mushola dan Dalem Ageng |
Makan siang dan
diskusi ringan usai. Setelah rehat sejenak saya pun pamit kepada pengurus
pondok. Saya dan Dr. Murdianto segera meluncur ke masjid yang menjadi tujuan
wisata religi tersebut. Perjalanan cukup lancar. Tidak sampai 30 menit kami
sudah sampai lokasi.
Makam Tegalsari lokasi
tidak seberapa jauh dari Pondok Modern Gontor. Suara adzan terdengar merdu saat
kami datang. Setelah parkir kami pun bergegas mengambil air wudhu. Puluhan
jamaah segera berbaris rapi begitu iqamah dikumandangkan. Saya segera mengambil
posisi di baris kelima.
Usai shalat dan
dzikir, saya menunggu pintu makam Kiai Hasan Besari dibuka. Terlihat pintu masih dikunci. Beberapa saat berlalu,
namun belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Saya pun kemudian memanfaatkan
waktu dengan berfoto di dekat pintu makam. Setelah itu berkeliling ke sekitar masjid.
Saya mengunjungi beberapa bangunan kuno yang ada di sekitar masjid.
Dalem Ageng |
Di sebelah timur
masjid yang dibelah oleh jalan kampung, terdapat Dalem Ageng Kyai Ageng
Mohammad Besari. Sebuah bangunan kuno yang eksotik. Begitu masuk, ada musholla
kecil tepat di barat Dalem Ageng. Saya duduk di halaman musholla yang mungil
tersebut. Pemandangan sekitar terlihat asri. Sejuk, meskipun siang itu
sesungguhnya udara cukup panas.
Seketika imajinasi
saya melayang. Terbayang bagaimana kondisi lokasi ini ratusan tahun lalu. Di
sini, ratusan tahun lalu, ada sebuah pesantren besar yang menjadi jejak dunia
pesantren di Jawa Timur. Tokoh-tokoh besar konon tersambung sanadnya ke
pesantren ini. Nama Ronggowarsito—sastrawan Jawa yang sangat masyhur—pada masa
mudanya juga mondok di sini.
Sayang, imajinasi saya
tidak bisa melayang lebih jauh. Bacaan saya sangat terbatas tentang sosok besar
yang begitu legendaris dengan segenap warisannya. Seingat saya, hanya satu buku
yang saya baca sampai tuntas tentang pesantren ini. Itu pun hanya fragmen
tertentu saja. Buku itu karangan Dr. Purwadi, M.Hum. Judulnya Hidup, Cinta,
dan Kematian Ronggowarsito. Sebuah buku yang sayangnya tidak diedit secara
baik. Kesannya malah asal terbit.
Sebenarnya saya
memiliki satu buku lagi tentang Kyai Mohammad Besari. Sayang, saya belum
membacanya secara khusus. Keterbatasan pengetahuan ini membuat saya tidak
memiliki khazanah yang cukup untuk merekonstruksi imajinasi di lokasi ini.
Jarum jam sudah hampir
menunjukkan pukul 13.30. Saya kembali ke makam dan tidak ada tanda-tanda pintu
makam akan dibuka. Orang-orang yang ada di sekitar masjid memberikan informasi
tentang penjaga makam. Kami dianjurkan untuk menghubungi beliau. Namun
tampaknya kondisi kurang memungkinkan. Saya pun memutuskan untuk berdoa dari
kejauhan.
Waktu semakin sore.
Saya harus pulang. Perjalan dari Jetis Ponorogo menuju rumah masih lumayan
jauh. Dalam hati saya berdoa semoga suatu saat diberikan kesempatan untuk
kembali ke tempat ini dan berdoa di dekat pusara ulama besar tersebut. Semoga
Allah mengabulkan. Amin.
Tidak ada komentar: