Menyemai Spirit Literasi Sejak Dini
Ratusan siswa-siswi
Madrasah Aliyah Ma’arif Nahdlatul Ummah Ponorogo duduk rapi di serambi masjid
Pondok Pesantren Ittihadul Ummah Jarakan Banyudono Ponorogo. Bersama mereka
hadir pula puluhan perwakilan Pengurus Anak Cabang IPNU IPPNU Se-Kabupaten
Ponorogo. Juga para guru BK/Guru Pembina KIR MTs/SMP di Kabupaten Ponorogo.
Semuanya duduk lesehan dengan tenang dalam acara “Seminar Literasi”. Sebuah
acara sebagai rangkaian dari Student Creative Meeting.
Kamis pagi, 24 Januari
2018, saya meluncur dari rumah di Trenggalek menuju Ponorogo. Entah berapa
jarak yang pasti dari rumah ke lokasi. Saya hanya menikmati saja jalanan yang
tidak semuanya mulus. Pegunungan yang membatasi Trenggalek Ponorogo acapkali
membuat perjalanan harus terhenti karena longsor yang menutup bahu jalan.
Alhamdulillah, perjalanan pergi dan pulang saat acara berjalan lancar.
Saat pengurus Pondok
Pesantren Ittihadul Ummah menghubungi via telepon sekitar dua minggu sebelum
acara, saya langsung mengiyakan. Bagi saya, acara semacam itu sangat penting.
Ya, sangat penting. Mengapa? Tentu ada banyak argumentasinya. Pertama, argumentasi
subjektif. Pengalaman saya secara pribadi—karena itu saya menyebutnya
subjektif—dalam menekuni dunia literasi disemai oleh lingkungan dan interaksi
dengan orang-orang yang terkait sejak usia belia.
Saat saya masih
remaja, saya berkesempatan nimbrung membaca majalah milik seorang
famili. Tanpa sadar, mimpi menjadi penulis tumbuh dalam diri. Memang tidak
banyak yang bisa saya lakukan saat itu, tetapi saya menyebut era itu sebagai
titik pijak bagi pengembangan budaya literasi saya pada tahap-tahap
selanjutnya.
Saat itu saya juga
sering bertanya kepada beberapa orang terkait menulis. Tentu tidak banyak
informasi valid yang saya peroleh karena orang yang saya tanya juga tidak
banyak memiliki pengalaman terkait kepenulisan. Tetapi spirit awal itu—bersama
dengan spirit membaca—menjadi penanda penting bagi saya yang masih belia untuk
menekuni dunia literasi pada tahap-tahap selanjutnya.
Acara “Seminar
Literasi” yang dihadapi ratusan siswa MAM NU Ponorogo saya kira sejalan dengan
argumen subjektif ini. Mereka masih belia. Mereka memiliki mimpi besar dalam
kehidupannya. Saya baca dari tugas yang saya berikan, mereka sesungguhnya
sangat ingin menjadi penulis. Jadi ini merupakan modal besar yang harus
dikelola secara baik.
Kedua, literasi akan
lebih efektif jika disemai sejak dini. Para penulis besar, sejauh yang saya
tahu, mulai senang membaca sejak usia belia. Asupan bacaan mereka kemudian
menjadi akumulasi pengetahuan yang semakin hari semakin berkembang. Saat mereka
melangkah lebih lanjut dengan menulis, mereka relatif terbantu dengan khazanah
pengetahuan yang dimiliki.
Jadi, semakin dini
pengetahuan dan kesadaran literasi disemai, tentu hasilnya akan lebih
menggembirakan.
Tidak ada komentar: