Menyemai Spirit Literasi Sejak Dini

Januari 26, 2019



Ratusan siswa-siswi Madrasah Aliyah Ma’arif Nahdlatul Ummah Ponorogo duduk rapi di serambi masjid Pondok Pesantren Ittihadul Ummah Jarakan Banyudono Ponorogo. Bersama mereka hadir pula puluhan perwakilan Pengurus Anak Cabang IPNU IPPNU Se-Kabupaten Ponorogo. Juga para guru BK/Guru Pembina KIR MTs/SMP di Kabupaten Ponorogo. Semuanya duduk lesehan dengan tenang dalam acara “Seminar Literasi”. Sebuah acara sebagai rangkaian dari Student Creative Meeting.

Kamis pagi, 24 Januari 2018, saya meluncur dari rumah di Trenggalek menuju Ponorogo. Entah berapa jarak yang pasti dari rumah ke lokasi. Saya hanya menikmati saja jalanan yang tidak semuanya mulus. Pegunungan yang membatasi Trenggalek Ponorogo acapkali membuat perjalanan harus terhenti karena longsor yang menutup bahu jalan. Alhamdulillah, perjalanan pergi dan pulang saat acara berjalan lancar.


Saat pengurus Pondok Pesantren Ittihadul Ummah menghubungi via telepon sekitar dua minggu sebelum acara, saya langsung mengiyakan. Bagi saya, acara semacam itu sangat penting. Ya, sangat penting. Mengapa? Tentu ada banyak argumentasinya. Pertama, argumentasi subjektif. Pengalaman saya secara pribadi—karena itu saya menyebutnya subjektif—dalam menekuni dunia literasi disemai oleh lingkungan dan interaksi dengan orang-orang yang terkait sejak usia belia.

Saat saya masih remaja, saya berkesempatan nimbrung membaca majalah milik seorang famili. Tanpa sadar, mimpi menjadi penulis tumbuh dalam diri. Memang tidak banyak yang bisa saya lakukan saat itu, tetapi saya menyebut era itu sebagai titik pijak bagi pengembangan budaya literasi saya pada tahap-tahap selanjutnya.

Saat itu saya juga sering bertanya kepada beberapa orang terkait menulis. Tentu tidak banyak informasi valid yang saya peroleh karena orang yang saya tanya juga tidak banyak memiliki pengalaman terkait kepenulisan. Tetapi spirit awal itu—bersama dengan spirit membaca—menjadi penanda penting bagi saya yang masih belia untuk menekuni dunia literasi pada tahap-tahap selanjutnya.

Acara “Seminar Literasi” yang dihadapi ratusan siswa MAM NU Ponorogo saya kira sejalan dengan argumen subjektif ini. Mereka masih belia. Mereka memiliki mimpi besar dalam kehidupannya. Saya baca dari tugas yang saya berikan, mereka sesungguhnya sangat ingin menjadi penulis. Jadi ini merupakan modal besar yang harus dikelola secara baik.

Kedua, literasi akan lebih efektif jika disemai sejak dini. Para penulis besar, sejauh yang saya tahu, mulai senang membaca sejak usia belia. Asupan bacaan mereka kemudian menjadi akumulasi pengetahuan yang semakin hari semakin berkembang. Saat mereka melangkah lebih lanjut dengan menulis, mereka relatif terbantu dengan khazanah pengetahuan yang dimiliki.

Jadi, semakin dini pengetahuan dan kesadaran literasi disemai, tentu hasilnya akan lebih menggembirakan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.