Mengangkat Citra PTKIN

Januari 30, 2019

Ngainun Naim


“Pendidikan Islam harus terus berbenah. Tantangan globalisasi harus dijawab secara kreatif. Sesungguhnya hidup ini hanya berada di antara dua pilihan, yaitu mengejar takdir atau mengoptimalkan takdir”.
Itu di antara pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Dr. Imam Safe’i, M.Pd., Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, saat menyampaikan materi pada “Rapat Kerja IAIN Tulungagung Tahun 2019” yang dilaksanakan di Ketapang Indah Hotel Banyuwangi, 30 Januari-1 Februari 2019.
Lebih jauh Dr. Imam Safe’i menjelaskan bahwa seluruh komponen yang ada di PTKIN harus memahami visi yang ada. Visi tidak harus dibuat secara rumit, berbelit, dan sulit dipahami. Justru visi yang baik adalah visi yang sederhana dan bisa dicapai dalam jangka waktu yang terukur. Melalui visi yang semacam ini diharapkan semua pihak di kampus bergerak dalam kerangka mewujudkan visi tersebut. “Pekerjaan kita sama, yaitu memaksimalkan pelayanan kepada mahasiswa”, tegas Dr. Imam Safe’i.
Dalam kerangka ini maka visi tersebut harus diterjemahkan menjadi manifestasi dari keunggulan PTKIN. Beliau memberikan tiga kata kunci yang menegaskan keunggulan tersebut. Pertama, the first. Jadi PTKIN harus menjadi yang pertama dalam sebuah program atau pada aspek tertentu. Jika ini mampu diwujudkan maka akan menjadi keunggulan tersendiri. Pilihan kedua adalah the best. Menjadi yang terbaik maknanya sangat mungkin bukan yang pertama, tetapi dalam tataran tertentu, menjadi yang terbaik. Tentu, terbaik bermakna keunggulan itu sendiri. Atau pilihan yang ketiga, different, berbeda. Ada sesuatu yang berbeda yang tidak dimiliki oleh PTKIN lain.
Ketiga kata kunci ini sesungguhnya merupakan tantangan untuk terus inovasi. Inovasi itu mensyaratkan pemikiran ideal di masa depan. “Bercita-citalah yang tinggi. Banyak orang yang menyesal karena cita-citanya rendah tetapi kemudian tercapai”, pungkas Dr. Imam Safe’i diikuti dengan tawa hadirin semua.

Pada bagian lain beliau menjelaskan tentang pentingnya kita bekerja secara baik. Pengalaman beliau sering berpindah tempat kerja karena mutasi menarik untuk menjadi teladan. “Substansinya adalah bagaimana kita bisa selalu bahagia”, katanya.
Beliau menuturkan lima jenis bahagia. Pertama, bahagia sehari. Jika ingin bahagia sehari maka sempatkan tidur siang. Itu akan membuat bahagia. Kedua, bahagia seminggu, yaitu weekend. Manfaatkan akhir pekan betul-betul untuk mengistirahkan fisik dan menikmatinya. Tradisi weekend itu berasal dari Barat. Di sana, masyarakatnya bekerja sungguh-sungguh pada hari kerja. Karena itu ketika akhir pekan tiba, mereka betul-betul menikmatinya. “Persoalannya, di kita weekend itu tidak banyak bedanya karena kita tidak banyak bedanya antara bekerja dan santai”, jelasnya.
Ketiga, bahagia sebulan. Caranya dengan menikah. Maka ada istilah “bulan madu”. Keempat, bahagia setahun. Caranya dengan memperingati hari ulang tahun kita. Dan yang terpenting adalah bahagia sumur hidup. Caranya adalah dengan menikmati profesi kita.
Banyak dari kita yang menemukan pekerjaan itu bukan karena pilihan hidup. Tidak sedikit yang karena kebetulan atau awalnya terpaksa. Apa pun keadaannya, pekerjaan harus dinikmati karena kita akan menjalaninya sampai pensiun. Cara inilah yang membuat kita bisa bahagia.
Jika kita bahagia maka kita akan bisa bekerja secara baik. Kita bisa menjadi “manusia yang altruis”, yang banyak memikirkan orang lain. Bukan manusia sadis yang lebih berorientasi pada berpikir tentang diri sendiri. Manusia altruis inilah yang bisa menemukan bahagia. Pada akhirnya, energinya akan dicurahkan untuk kemajuan lembaga. Jika konsisten pada pilihan ini maka PTKIN akan semakin maju. Citra lembaga Islam pun akan semakin terangkat dengan semakin banyaknya yang maju.

Banyuwangi, 30 Januari 2019.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.