Membaca Islam Nusantara Perspektif Islam Indonesia
Judul Buku: Islam Nusantara Islam Indonesia
Ijtihad Kemaslahatan Bangsa
Penulis: M. Imdadun Rahmat
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Tahun: 2018
Tebal: 170 halaman
Buku karya Dr. M.
Imdadun Rahmat ini melengkapi buku-buku Islam Nusantara yang telah terbit
sebelumnya. Buku ini, tentu saja, memiliki keunikan dibandingkan dengan
buku-buku tema sejenis yang telah terbit sebelumnya.
Buku ini terbagi
menjadi lima bab. Bab pertama bertajuk, “Pendahuluan: Metode Berpikir (Manhaj
Fikrah) Islam Nusantara”. Sebelum masuk bab pertama, ada pengantar yang cukup
kritis dari Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj. Substansi kata pengantar
Kiai Said adalah klarifikasi dan penjelasan tentang apa yang sesungguhnya
disebut dengan Islam Nusantara. Menurut Kiai Said, penjelasan ini penting
diberikan karena banyak yang menilai bahwa Islam Nusantara adalah aliran atau
agama baru. Padahal bukan. Kata Kiai Said, Islam Nusantara itu khosois wa
mazayat, tipe dan karakter Islam yang dianut oleh masyarakat Nusantara yang
ramah, santun dan moderat. Tipe dan karakter semacam ini menjadi mungkin karena
dibangun di atas budaya (h. i).
Keseluruhan isi buku
ini bisa jadi merupakan syarah atas penjelasan Kiai Said. Ya, saya membaca buku
ini berisi penjelasan M. Imdadun Rahmat tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan Islam nusantara. Menjelaskan sekaligus menegaskan apa yang telah ditulis
oleh Kiai Said di bagian “Kata Pengantar”.
Salah satu akar
persoalan ketegangan antar kelompok Islam di Indonesia adalah relasi antara
Islam dan lokalitas. Secara sederhana terdapat dua kelompok Islam, yaitu yang
menolak dan yang menerima. Bagi yang menolak, Islam tidak boleh tunduk,
bercampur, atau berinteraksi secara produktif dengan lokalitas sebab dinilai
menjadikan Islam tidak lagi otentik. Kelompok ini “memusuhi” segala hal yang
bernuansa lokalitas.
Sementara kelompok
yang menerima melihat celah kreatif dalam relasi antara keduanya. Tentu saja,
M. Imdadun berada di kelompok ini. Menurut Imdadun, Islam dan lokalitas itu
saling menerima. Ada konvergensi antara keduanya sehingga saling memperkaya. Inilah
yang membuat Islam bisa tumbuh secara kukuh di Nusantara (h. 4). Sejarah
panjang Islam Indonesia sesungguhnya merupakan bukti nyata bahwa Islam dan
lokalitas mampu berdialektika secara konstruktif. Aspek Islam yang substantif,
tentu saja, tidak bercampur dengan aspek lokalitas. Tetapi pada dimensi sosial
kemasyarakatan, konvergensi antara keduanya justru bisa membuat Islam tumbuh
dan berkembang secara baik.
Bagi kelompok penolak
lokalitas, segala yang bernuansa lokalitas ditolak. Berbagai penilaian negatif
diberikan. Maka, tak ayal pertentangan acapkali terjadi antara Islam dengan
budaya lokal. Akibatnya, Islam yang dihadirkan adalah Islam yang minus dengan
lokalitas. Islam yang mendaku sebagai Islam murni.
M. Imdadun Rahmat
menilai bahwa jika sampai terjadi pertentangan antara Islam dan budaya maka
yang terjadi adalah perjuangan simbolis (h. 5). Disebut demikian karena
kelompok penolak lokalitas berjuang demi sesuatu yang tidak substantif.
Perjuangan mereka adalah perjuangan formalistik yang sifatnya simbolik.
Islam yang mampu berdialektika
secara intensif dengan lokalitas akan menghasilkan sesuatu yang unik. Sebelum
ramai perbincangan tentang Islam Nusantara, Gus Dur pada pertengahan tahun
1980-an telah memperkenalkan istilah pribumisasi Islam. Saat itu terjadi
kontroversi berkepanjangan terkait ide yang dilontarkan oleh Gus Dur. Padahal,
jika ditelisik secara objektif, pribumisasi Islam memiliki tujuan mulia, yaitu pemanusiaan
manusia, melalui pemanusiaan kehidupan (h. 6). Karena itu pribumisasi
Islam bersikap kritis terhadap ideologi apa pun, termasuk islamisme. Kemanusiaan
adalah arah dan orientasi utama pribumisasi Islam (h. 7).
Imdadun mengeksplorasi
secara luas relasi Islam dengan budaya lokal. Ia menggunakan Wali Songo sebagai
titik pijak. Perspektif sejarah yang diusungnya menegaskan bahwa Islam
Indonesia bisa tumbuh dan berkembang sampai sekarang ini tidak bisa dilepaskan
dari peranan penyebar Islam awal tersebut. Mereka menggunakan pendekatan
kultural sehingga pelan tapi pasti Islam memiliki akar kuat dalam kehidupan
masyarakat Jawa ketika itu.
Imdadun mengulas
panjang lebar aspek ini pada Bab III yang bertajuk, “Islam Nusantara,
Islam Indonesia (Keterbukaan Antar Budaya)”. Imdadun menggunakan perspektif
geneaologi historis untuk memotret Islam Indonesia. Islam nusantara, tegas
Imdadun, beda dengan model sinkretisme. Sinkretisme merupakan upaya memadukan
berbagai unsur sehingga ada bagian tertentu yang hilang demi terbangunnya
identitas baru. Tidak demikian dengan Islam nusantara yang pola relasinya
bersifat akulturasi (h. 30). Secara apresiatif M. Imdadun Rahmat menyebut
bahwa Islam nusantara mewakili Islam yang toleran terhadap agama lain. Tidak
hanya itu, Islam nusantara juga ramah terhadap budaya lokal, kompatibel dengan
zaman negara bangsa, dan mau berbagi bersama untuk bekerjasama dengan agama dan
penganut kepercayaan lain dalam membangun NKRI (h. 29).
Secara tegas Imdadun
menyebut di subbab ini dengan nama “Islam yang Menyejarah di Nusantara”. Subbab
ini secara implisit sesungguhnya menunjukkan bahwa Islam itu telah menjadi
bagian tidak terpisah dari sejarah Nusantara. Ada proses, dinamika dan
dialektika historis yang cukup panjang. Imdadun memetakan beberapa gelombang
Islam Indonesia.
Gelombang pertama
adalah Islam awal. Gelombang ini ditandai dengan masuknya orang Islam di Pulau
Jawa. Secara formal sesungguhnya mereka telah memeluk Islam tetapi
pengetahuannya tentang ajaran Islam sendiri masih minim. Amaliah
keberagamaannya masih dipengaruhi oleh tradisi-tradisi pra-Islam. Imdadun
menyebut kelompok ini sebagai muslim heterodoks. Ekspresi
keberisalamannya tampak pada pengakuan syahadat dan keyakinan Islam akan
kefanaan dunia dan kebakaan akhirat. Juga ada kesadaran adanya batas antara
dunia kini yang haq dan dunia lama yang bathil. Muslim tipe ini,
menurut Imdadun, bisa disamakan dengan penganut folk-religion. Namun
demikian, justru pada gelombang pertama inilah diletakkan dasar-dasar
kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap kultural yang menjadikan diri sebagai
bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam (h. 33).
Gelombang kedua dengan
peran menentukan Wali Songo. Imdadun Rahmat menyebut bahwa, “gelombang kedua
ini sungguh menentukan bagi perkembangan kehidupan dan kebudayaan masyarakat
Islam Nusantara” (h. 34). Potret Islam hari ini dipengaruhi—sedikit atau
banyak—oleh perkembangan pada gelombang kedua ini. Hal ini menunjukkan bahwa
Wali Songo menjalankan peran dakwahnya secara gemilang. Mengutip Azra, Imdadun
mencatat bahwa pada era ini terjadi harmonisasi antara tasawuf dan syariat
fikih (h. 37).
Setiap zaman memiliki
dinamika tersendiri. Setelah gelombang kedua yang cukup harmonis, pada
gelombang ketiga, terjadi pertentangan yang semakin mengeras antara penganut fiqh
oriented dengan tasawuf. Proses ortodoksi semakin mengeras yang ditandai
dengan tuntutan agar terjadi keselarasan antara keyakinan agama dengan tata
kehidupan sosial dan pribadi. Berbagai cara kekerasan ditempuh. Gerakan yang
menandai gelombang ini adalah Padri di Sumatera Barat. Meskipun demikian Imdadun
mencatat bahwa justru pada periode ini pesantren-pesantren menyebar, tradisi
menguat dan jaringan guru-murid yang menjadi landasan kelembagaan semakin
menguat (h. 39). Sayangnya, penulis buku ini tidak menguraikan secara panjang
lebar mengapa dan bagaimana hal ini terjadi. Di bandingkan dengan gelombang
lainnya, paparan pada gelombang ini relatif paling sedikit.
Gelombang keempat
dimulai pada awal abad ke-20. Pada gelombang ini, kosmopolitanisme Islam
dinilai Imdadun berwajah sangat ortodoks dan politis. Ortodoksi ini muncul
sebagai respon atas kemunduran umat Islam. Sebab kemunduran adalah mutu
kepemimpinan yang menurun, perpecahan di kalangan umat Islam, kemandekan
berpikir, dan berbagai faktor lainnya. Realitas kemunduran umat Islam
memunculkan berbagai pemikiran sebagai solusi. Kelompok pembaru Pan-Islamis
menawarkan konsep “pemurnian” Islam dan penghapusan berbagai bentuk takhayul,
bid’ah dan khurafat. Formula kaum pembaru ini mendapatkan pertentangan dari
kelompok tradisional. Fenomena ini dinilai Imdadun sebagai kelanjutan dari
pertentangan pada gelombang sebelumnya.
Sayangnya, Imdadun
hanya membatasi sampai gelombang keempat saja. Padahal jika dipetakan lagi,
sangat mungkin ada gelombang baru yang bisa disebut sebagai “gelombang kelima”.
Gelombang ini saya kira mulai muncul setelah Orde Baru runtuh. Ada begitu
banyak dinamika dan perkembangan di era ini, termasuk munculnya Islam
Nusantara.
Ditinjau dari
perspektif sejarah intelektual, Islam Indonesia itu memiliki perkembangan yang
menarik. Mengutip Taufik Abdullah, Imdadun menjelaskan tentang beberapa hal
yang penting untuk dicatat. Pertama, Islam mulai berkembang setelah
“lulus ujian” dalam menghadapi berbagai peradaban besar dunia saat itu.
Peradaban besar yang dimaksudkan adalah: Persia, Hellenisme, Byzantium, dan
India. Islam yang tumbuh dan berkembang merupakan jalan hidup masyarakat, bukan
ideologi politik. Kedua, patokan ortodoksi Islam Ahlussunnah sebenarnya
telah dibakukan melalui sistem bermazhab yang telah ditentukan. Ketiga, Islam
mulai menyebar ketiga ‘urf yang memungkinkan terjadinya variasi dalam
dimensi lokal, diakui sebagai bagian dari hukum Islam, dan bukan sekadar
realitas yang ditolerir (h. 44).
Ada satu bagian yang
penting dari pernyataan Imdadun, yaitu kearifan. Ya, inilah kunci yang
menjadikan Islam Indonesia bisa terus tumbuh dan berkembang sampai sekarang.
Kearifan yang membuat Islam Indonesia memiliki karakteristik lebih tertib dalam
beribadah, lebih tertib terhadap perbedaan pandangan, tetap setia terhadap
bangsa dan negara tanpa mengurangi kesetiaan terhadap universalisme Islam (h.
46).
Di banyak tempat,
Imdadun mengelaborasi makna jihad. Bagi Imdadun, jihad itu tidak identitik
dengan jalan kekerasan. Jihad yang lebih tepat dalam konteks Indonesia adalah
usaha-usaha kritis-kreatif untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia.
Kekerasan dan pemaksaan perwujudan Islam secara simbolik justru kontraproduktif
dengan berbagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan manusia secara
keseluruhan. Imdadun menegaskan bahwa, “dalam makna religiusnya yang otentik,
jihad adalah upaya sungguh-sungguh melawan kecenderungan negatif dalam diri
atau kondisi-kondisi ketidakstabilan guna menjaga kekuatan dan eksistensinya
agar tetap stabil dan terbuka terhadap kebaikan dan kemajuan” (h. 98).
Bagian lain yang
penting adalah tentang kiprah NU. Jejak sejarah NU sesungguhnya jejak sejarah
perjuangan. Tantangan, serangan, dan juga hambatan mewarnai perjalanan NU. Serangan
terhadap NU telah berlangsung semenjak berdiri sampai sekarang. Namun NU tetap
bertahan. Menurut Imdadun, daya tahan ini disebabkan karena Nu terus memberikan
respon atas setiap serangan yang ada. Respon ini menunjukkan bahwa NU itu
organisasi yang dinamis, bukan organisasi yang statis (h. 102).
Bab IV yang
berjudul, “Nahdlatul Ulama (NU) Meneguhkan Indonesia sebagai Negara
Kemaslahatan” mengulas posisi NU dalam dinamika kehidupan sosial politik di
Indonesia. Paparan Imdadun cukup detail dan menjelaskan bagaimana posisi NU
yang sesungguhnya. Paparan ini bisa membantu memberikan informasi tentang
bagaimana posisi NU yang sesungguhnya. Akar posisi ini bisa diketahui setelah
membaca subbab “Paham Politik Kemaslahatan”.
Pada subbab ini dijelaskan bagaimana NU memandang Indonesia sebagai
bentuk negara mutlak yang harus dipertahankan keberadaannya (h. 112). Karena
itu, perspektif NU terkait negara-bangsa sudah sangat jelas dan tegas. NU tidak
memiliki persoalan dengan konsep kebangsaan (122). NU menyadari sepenuhnya
bahwa masyarakat Indonesia sangat majemuk. Kemajemukan ini telah ada dan
menjadi bagian yang tidak terpisah dari sejarah Indonesia. Merawat kemajemukan
sesuai dengan dinamika perkembangan yang ada dalam negara Indonesia adalah
bagian dari kemaslahatan yang harus terus dirawat dan diperjuangkan (h. 124).
Kesimpulan buku ini
cukup menarik yaitu Islam Nusantara yang telah membumi di Indonesia merupakan
bagian dari sejarah panjang Indonesia. Islam yang bisa bertahan ini karena
menghargai keanekaragaman yang ada. Perjuangan yang utama bukan memperjuangkan
simbol, tetapi bagaimana substansi keberagamaan menjadi bagian yang tidak
terpisah dari kehidupan. Islam jenis ini penting untuk menghadang perkembangan
Islam-transnasional yang tidak menghargai keanekaragaman.
Beberapa kesimpulan
dari keseluruhan isi buku ini: (1) Islam Nusantara merupakan implementasi dari
hasil pemahaman dan penyikapan terhadap teks-teks untuk konteks Indonesia. (2)
Islam nusantara menempatkan budaya lokal bukan sebagai ancaman agama melainkan
justru memperkaya ekspresi keagamaan. (3) Islam Nusantara memandang perubahan
sebagai realitas yang harus disikapi dan dihadapi secara positif. Dan (4) sikap
Islam Nusantara terhadap politik jelas, yaitu Islam menjadi penopang NKRI (h.
144-145).
Sebagai catatan
penutup, ada dua hal yang saya temukan. Pertama, model referensi
yang tidak konsisten. Ada yang dalam bentuk catatan kaki, ada yang innote.
Kedua, perlu editing ulang agar lebih enak untuk dibaca. Beberapa
kesalahan ketik dan kalimat yang perlu disusun ulang masih ditemukan di
sebagian isi buku ini.
Meskipun demikian,
buku ini telah berkontribusi penting dalam memperkaya khazanah “Islam
Nusantara”. Selamat membaca.
Tulungagung, 31 Desember 2018.
Ulasan yang sangat detil. Trims sharingnya mas
BalasHapusTerima kasih Bang Day berkenan membaca ulasan saya
Hapus