Potret Studi Agama di Indonesia

November 24, 2018



Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)

Buku tebal karya Dr. Media Zainul Bahri ini sesungguhnya sudah cukup lama saya miliki. Catatan tangan saya di buku menunjuk medio Maret 2016. Namun buku ini teronggok begitu saja di tumpukan karena memang belum mendapatkan kesempatan untuk dibaca. Barulah pada 6 November 2018 buku ini mulai saya buka, saya cicipi, saya kaji, saya telusuri, dan saya baca bagian demi bagian.
Luar biasa. Sungguh, ini buku yang sangat bergizi. Ada begitu banyak informasi, pengetahuan, dan hal-hal baru yang dihadirkan. Dr. Media memang sangat serius menyusun buku ini. Maklum, di bagian “Ucapan Terima Kasih”, ia menulis bahwa buku ini berasal dari riset postdoktoral yang dilakukan di Universitas Köln Jerman selama 22 bulan. Wajar jika buku ini sangat berbobot.
Buku yang terdiri dari tujuh bab ini menyajikan banyak hal yang sarat informasi. Ada begitu banyak wawasan yang saya peroleh setelah membaca buku ini.
Bagian yang menurut saya sangat menarik adalah bab 3, “Teosofi: Pengertian dan Tujuan”. Teosofi selama ini cenderung saya pahami hanya dalam konteks yang sangat terbatas. Paparan Dr. Media memberikan saya pengetahuan yang cukup menarik dan komprehensif. Saya menjadi tahu bagaimana sebuah kelompok bisa hadir, memberikan kontribusi, dan mewarnai dinamika sejarah bangsa ini.
Tidak pernah terbayangkan dalam benak saya jika pada awal abad ke-20 sudah ada kelompok intelektual yang cukup progresif. Mereka tergabung dalam Masyarakat Teosofi Indonesia (MTI). Kelompok ini, berdasarkan riset serius Dr. Media, telah memberikan kontribusi pemikiran dan gerakan agar perbedaan tidak lagi dipertentangkan. Substansi kehidupan adalah bagaimana membangun harmoni di antara perbedaan yang ada.
Dr. Media menyebut bahwa awal abad ke-20, yakni mulai tahun 1901, MTI mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia. Jumlah anggotanya semakin banyak. Masa keemasan MTI terjadi antara tahun 1910-1930. Selama masa ini, buku-buku diterbitkan, berbagai usaha dilakukan, dan berbagai saya organisasi dibuat (h. 89). Jumlah anggota terbanyak berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (h. 91). Dan, ini yang mengejutkan saya, ternyata H. Agus Salim adalah seorang anggota MTI (h. 93).
MTI adalah potret pluralisme yang sesungguhnya. Mereka tidak hanya menggagas dalam perbincangan, tetapi juga menuliskannya secara konsisten. Dokumen-dokumen mereka dianalisis secara kritis oleh Dr. Media. Jauh sebelum pluralisme menjadi bahan perbincangan seperti sekarang ini ternyata MTI di awal abad ke-20 sudah mendengungkannya. Tentu ini merupakan fenomena sejarah yang sangat penting ditinjau dari konteks Indonesia kontemporer.
Aspek lain yang cukup menarik adalah pendekatan yang digunakan MTI. Ternyata mereka menggunakan perenialisme. Saya cukup akrab dengan filsafat perenial karena memang pernah melakukan penelitian secara khusus. Lewat buku ini saya mendapatkan perspektif baru yang lebih kaya tentang filsafat perenial.           
MTI tidak berkembang karena berbagai faktor. Sayang tidak ada penjelasan tentang perkembangan MTI ini lebih lanjut. Asumsi saya, tidak mungkin sebuah organisasi dan pemikiran hilang begitu saja. Mungkin saja ada jejak-jejak sejarah yang bisa dilacak. Tetapi memang menelusurinya bukan pekerjaan yang mudah. Saya kira Dr. Media sudah bekerja luar biasa dalam menjelaskan fenomena MTI dalam jejak sejarahnya di Indonesia.
Paparan Dr. Media tentang dua intelektual—Mahmud Yunus dan Haji Zainal Arifin Abbas—yang mulai memperkenalkan studi agama sungguh merupakan informasi yang—buat saya—sangat berharga. Jejak pemikiran kedua intelektual menandai babak baru studi agama di Indonesia. Lewat kedua intelektual tersebut, studi agama menemukan perkembangnnya yang penting.
Seorang tokoh penting Studi Agama di Indonesia adalah Prof. Dr. A. Mukti Ali. Beliau bisa disebut sebagai “Bapak Perbandingan Agama Indonesia”. Selain memberikan catatan kritis, Dr. Media juga memposisikan Mantan Menteri Agama tersebut secara objektif. Secara jujur beliau mengakui bahwa Mukti Ali adalah sarjana istimewa yang menorehkan pengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia.
Pembelaan Media terlihat di banyak halaman buku ini. Di halaman 312-314, Media menulis bahwa pandangan kesarjanaan dan keislaman Mukti Ali mendapatkan kritikan banyak ahli. Boland menilai bahwa Mukti Ali kurang tepat jika disebut sebagai sarjana Perbandingan Agama. Boland menyebut bahwa sebutan yang tepat untuk Mukti Ali adalah sebagai “Teolog Muslim tentang agama-agama” (Muslim theology of religions). Steenbrink menyebutnya sebagai designer of Muslim Theology of Religion. Buku Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistima (1965) dinilai Boland bukan karya “Perbandingan Agama”, melainkan karya “teologi agama-agama”. Steenbrink juga menilai bahwa Mukti Ali tidak pernah melakukan penelitian “mendalam” tentang agama-agama lain. Menurut Media, kita harus melihat Mukti Ali dan karyanya dalam konteks sosio-keagamaan saat itu. Ia berjuang keras “melahirkan” ilmu baru di tengah kondisi sosial kemasyarakatan yang cenderung eksklusif. Menawarkan sesuatu yang—Media menyebutnya sebagai--“ekstra ilmiah” jelas bukan hal mudah. Karena itu usaha beliau seharusnya dihargai secara proporsional (h. 312-314).
Jika dicermati, sosok Mukti Ali memang mendapatkan porsi pembahasan yang cukup luas. Saya kira itu wajar karena Mukti Ali adalah sosok penting yang menandai perkembangan Perbandingan Agama di Indonesia. Gagasan, pemikiran, dan kebijakannya mempengaruhi terhadap wajah PA sekarang ini. Tidak hanya itu. Kehidupan keagamaan di Indonesia hari ini pun sesungguhnya juga mendapatkan pengaruh dari Mukti Ali.
Bisa dibilang buku ini cukup komprehensif karena membaca sejarah perkembangan Perbandingan Agama di Indonesia sejak awal sampai tahun 2014.  Pembaca sekalian bisa menemukan bagaimana dinamika, perkembangan, pertumbuhan, dan perubahan yang berlangsung sedemikian dinamis. Membaca keseluruhan isi buku ini memberikan informasi dan pengetahuan yang luas tentang bagaimana dinamika sebuah ilmu: Perbandingan Agama.
Tulungagung, 21-11-2018

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.