Pendidikan, Literasi dan Perubahan Nasib
Oleh Ngainun Naim
Sebuah kabar duka bermunculan di facebook. Sastrawan
sepuh Surabaya, Suparto Brata, berpulang. Hari itu, 11 September 2015, Suparto
Brata wafat dalam usia 83 tahun. Penulis 183 judul buku, blogger tertua,
penerima berbagai penghargaan, dan pegiat literasi tersebut pergi untuk
selamanya.
Jasad seseorang perlahan tapi pasti dilupakan orang
seiring kepergiannya. Tetapi karyanya akan tetap dikenang sepanjang masih bisa
dibaca. Dan karya Suparto Brata saya kenang lewat catatan sederhana ini setelah
beberapa tahun beliau wafat.
Ya, salah satu sastrawan yang saya kagumi adalah
Suparto Brata. Beliau terus menulis hingga usia senja menjelang ajal menjemput.
Bagi beliau, literasi tidak sekadar bagaimana membaca buku dan menulis.
Substansi literasi adalah "mengubah takdir".
Kesimpulan ini saya peroleh setelah saya membaca buku
karya beliau yang berjudul Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis Buku. Buku
terbitan Litera Media Center (LMC) Surabaya tahun 2011 ini berkisah tentang
bagaimana Suparto Brata menjalani kehidupan yang panjang dengan membaca dan
menulis.
Sastrawan Jawa penulis ratusan novel dan buku ini
berkisah tentang bagaimana beliau bisa mendapatkan nasib hidup yang lebih baik
dibandingkan teman-temannya yang tidak membudayakan membaca dan menulis.
Kehidupan ekonominya cukup lumayan. Empat orang anaknya sarjana semua. Tentu
ini capaian yang sangat menggembirakan.
Menurut Suparto Brata, membaca buku dan menulis adalah
cara agar kehidupan seseorang, bahkan sebuah bangsa, bisa terangkat derajatnya.
Membaca dan menulis tidak bisa terbentuk begitu saja. Beliau merekomendasikan
sekolah agar mendesain literasi sebagai budaya.
Pada halaman 7 bukunya, Suparto Brata bertutur bahwa
12 tahun sekolah seharusnya diajarkan membaca-menulis setiap hari tanpa jeda.
"Jadi jelas, guna sekolah (12 tahun) adalah agar anak manusia
(bangsa) bisa mampu dan lancar membaca buku dan lancar tulis-menulis",
tegasnya.
Jika dicermati, Suparto Brata mengidealkan sekolah
sebagai tempat membangun budaya literasi. Hal ini bermakna bahwa budaya
literasi itu disemai, tumbuh, dan berkembang di sekolah. Jika budaya literasi
telah tumbuh di sekolah maka kemajuan hidup secara luas akan lebih cepat
terwujud.
Kemajuan itu diyakini oleh Suparto Brata berbasis pada
budaya literasi. Individu yang maju hidupnya secara umum memiliki budaya
literasi yang kokoh. Begitu juga dengan negara yang maju. Suparto Brata
memberikan contoh negara Inggris yang maju berkat gagasan-gagasan masyarakatnya
yang cemerlang. Padahal Inggris—dan negara maju lainnya—tidak memiliki sumber
daya alam melimpah. Gagasan cemerlang diperoleh karena orang Inggris rajin
membaca dan menulis.
Keyakinan Suparto Brata ini bukan hanya berbasis
asumsi semata, melainkan didukung oleh data-data empiris dan juga pengalaman
personalnya. Wajar jika dengan sangat gigih sastrawan peraih berbagai
penghargaan ini menegaskan pentingnya aktivitas membaca dan menulis.
Coba simak penjelasan panjang Suparto Brata di halaman
28-29 dari buku Ubah Takdir berikut ini:
Manusia yang kiat hidupnya hanya
mengandalkan kekuatan indranya atau kodratnya saya namai MANUSIA KODRAT.
Artinya dia mencapai kepuasan hidupnya seperti halnya orang primitif yaitu
dengan hanya mengandalkan kekuatan kodratnya, yaitu: melihat, mendengar,
mengalami, meraba, merasakan. MANUSIA KODRAT adalah manusia primitif yang hidup
zaman sekarang.
Manusia yang kiat hidupnya selain
mengandalkan kekuatan indranya atau kodratnya juga didukung sarana kekuatan
MEMBACA DAN MENULIS BUKU, saya namakan MANUSIA SASTRAWI. Artinya dia mencapai
kepuasan hidupnya dengan cara menggunakan ilmu yang didapat dari MEMBACA BUKU
DAN MENULIS BUKU. Hidup sebagai MANUSIA SASTRAWI akan lebih gampang mencapai
kemakmurannya pada masyarakat global berteknologi modern seperti zaman sekarang
ini. Hidup Manusia Sastrawi bisa sesuai dengan kemajuan zamannya.
Pembagian manusia menjadi dua jenis—Manusia Kodrat dan
Manusia Sastrawi—sungguh menarik dalam konteks kemajuan hidup. Tentu saja jika
dihadapkan kepada para akademisi, pembagian semacam ini akan mendapatkan banyak
kritik dan komentar. Saya kira wajar karena realitas manusia itu memang sangat
kompleks sehingga tidak bisa diwakili oleh hanya dua kategori saja. Selain itu,
kategori terkesan menyederhanakan persoalan. Namun dalam konteks memahami
realitas secara lebih sederhana, apa yang dilakukan Suparto Brata cukup penting
dan signifikan.
Saya justru tidak ingin larut dalam model perdebatan
semacam itu yang biasanya tidak berujung. Masing-masing pihak biasanya memiliki
argumen dan landasan yang tidak mudah untuk dicari titik temunya. Justru karena
itulah saya lebih mengapresiasi spirit besar Suparto Brata untuk memajukan
masyarakat lewat budaya literasi.
Kehadiran teknologi modern dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat tidak otomatis membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang
modern. Secara kritis Suparto Brata menyebut bahwa bangsa Indonesia
sesungguhnya adalah bangsa primitif yang hidup di zaman modern. Mungkin
sebutan ini terlalu kasar dan banyak yang kurang berkenan. Tetapi jika melihat
argumentasinya, saya kira kita tidak perlu marah. Justru penilaian ini menjadi
titik pijak untuk melangkah dalam kehidupan modern dalam makna yang
sesungguhnya.
Indikator bangsa primitif yang hidup di zaman
modern adalah;
Segala kebutuhan kiat hidupnya
diserap dari kepekaan pancainderanya, yaitu melalui menonton dan mendengarkan
TV, radio, telepon, HP, dan hubungan tatap muka, termasuk konflik fisik menjadi
andalannya sebagai solusi untuk memenangkan perkara perubahan zaman atau
memaksakan kehendak. Dengan kemudahan mendapatkan informasi secara kodrati dari
alat-alat modern tadi kian engganlah bangsa Indonesia membudayakan diri membaca
dan menulis buku. Yang modern alat-alatnya, bukan manusianya. Manusianya
dijajah oleh alat-alat modern. Sebab untuk berbudaya membaca buku dan menulis
buku orang (putera bangsa) harus terus-menerus
diajari-belajar-diajari-belajar-diajari-belajar membaca buku sampai
bertahun-tahun. Maka ENGGAN belajar maupun mengajari. Akibatnya bangsa
Indonesia tetap jadi bangsa kodrati, alias primitif, kiat hidupnya terkungkung
tradisi kelisanan (orality). Dengan mengkonsumsi TV, radio, telepon, HP
sebgai serapan utama ‘budaya’ bangsa, maka bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
konsumtif, bodoh, tetap miskin, tidak kritis menerima informasi pembaharuan,
sulit membedakan mana opini mana fakta, mana kebenaran mana kebohongan, dan
tidak aman damai sejahtera. Orangnya tetap primitif bodoh, hanya sarana
teknologinya yang modern” (h. 72-73).
Kritik Suparto Brata ini terasa tajam dan pedas.
Tetapi itulah realitasnya. Justru karena itulah dibutuhkan sikap lapang dada
dan pikiran terbuka untuk menerima kritik dan saran Suparto Brata. Langkah
penting selanjutnya adalah menyusun strategi yang tepat untuk
menumbuhkembangkan budaya literasi. Lewat jalan semacam inilah kemajuan hidup
akan tercapai.
Kerja membangun budaya literasi bukan kerja temporal.
Ia merupakan kerja abadi sepanjang sejarah manusia. Capaiannya tidak bisa
dilihat serta merta. Mungkin kita sekarang yang berjuang membangun budaya
literasi tidak melihat hasilnya secara memuaskan. Tetapi jika kita konsisten
berjuang, Insya Allah budaya literasi akan semakin tumbuh subur.
Suparto Brata sekarang sudah berpulang. Harapannya
agar budaya membaca-menulis ditumbuhkembangkan mulai terlihat di berbagai
bidang, khususnya bidang pendidikan. Minat baca masyarakat juga semakin tinggi.
Kegelisahannya sepanjang hidup terhadap budaya literasi mulai terjawab sekarang
ini di saat Suparto Brata sendiri telah menghadap Allah. Semoga amal usahanya
diterima Allah sebagai amal shaleh yang manfaat. Amin.
Tulungagung,
11 Juni 2018
Astagaa, Pak. Menurut saya, kritikan tajam beliau sangat benar lhooo. Hiks....Seddiiihh. Hingga detik ini, saya pun merasakan bahwa bangsa kita memang masih primitif di tengah alam modern.
BalasHapusIya Bu. Saya setuju banget. Kita ini belum maju karena tidak memiliki budaya membaca dan menulis. Terima kasih ya Bu sudah berkenan mengunjungi blog ini.
HapusMantab sekali Prof.
HapusTerima kasih. Hanya catatan sederhana.
HapusBismillahirrohmanirrohim....
BalasHapusUntuk pak Suparto Brata,lahul fatihah....
Amin
HapusMasyaAllah, terima kasih catatannya, Pak Naim. 👍🏻
BalasHapusSama-sama
HapusAmunisi baru untuk tetap semangat menulis
BalasHapusMatur nuwun
HapusTerinspirasi dan termotivasi prof
BalasHapus