Lan Fang, Gus Dur dan Dunia Kata

Juni 05, 2018



Judul Buku: Imlek Tanpa Gus Dur dan 21 Tulisan Lainnya
Penulis: Lan Fang
Penerbit: Gramedia Jakarta
Edisi: 2010
Tebal: vi+112 halaman



Sastrawan Surabaya Lan Fang sudah meninggalkan kita semua. Perempuan enerjik yang produktif berkarya itu menyerah oleh kanker hati yang menyerangnya. Tepat pada hari natal, 25 Desember 2011, Lan Fang berpulang.
Sudah enam tahun ia pergi. Namun namanya masih melekat kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia, khususnya para pecinta sastra. Selain kiprahnya, buku-buku, artikel, esai dan novelnya yang membuat namanya dikenang sampai sekarang.
Salah satu buku yang ditulis adalah buku yang judulnya Imlek Tanpa Gus Dur ini. Meskipun lebih dikenal sebagai cerpenis dan novelis, Lan Fang sesungguhnya juga menulis esai. Buku terbitan Gramedia Jakarta tahun 2010 ini merupakan kumpulan artikel Lan Fang di berbagai media. Judul buku ini diambil dari salah satu artikel di dalam buku ini.
Total ada 22 artikel di buku ini. Sayangnya buku ini tanpa kata pengantar dari penulis, tanpa biodata penulis, dan juga tanpa penjelasan tentang sumber tulisan. Padahal, tulisan-tulisan semacam itu penting artinya dalam memberikan informasi kepada pembaca agar mengetahui bagaimana konstruksi buku ini terbangun. Terlihat buku ini diterbitkan kurang serius, meskipun penulisnya cukup bereputasi dan penerbitnya termasuk penerbit papan atas Indonesia.
Sebagai kumpulan tulisan yang awalny merupakan esai di berbagai media massa, tentu tema yang terdapat di buku ini cukup lebar. Ada tema tentang agama, budaya, sastra, politik, hingga bahasa. Coba simak, misalnya, artikel dengan judul “Adat dan Adab Menulis”. Ada juga dengan judul “Drama Kampanye”, dan di bagian akhir adalah artikel dengan judul “What is Bahasa Daerah?”.
Sebagaimana biasa, saya membaca secara pelan bagian demi bagian dari buku ini. Saya berusaha menikmati alur penulisannya yang sedemikian rapi mengalir dari bagian awal sampai akhir. Saat masuk bagian dua yang berjudul "Dari Seniman kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim", saya terhenti. Saya baca secara pelan-pelan. Saya kunyah-kunyah isinya.  Saya renungkan dan hayati isinya.
Bagian ini mengulas tentang kisah penghargaan Lan Fang terhadap kebijakan Gubernur Jatim Soekarwo (pada tahun 2009) yang memberikan asuransi kesehatan kepada para seniman. Bagi Lan Fang, kebijakan ini merupakan bentuk apresiasi dan kepedulian pemerintah terhadap seniman. Tidak sedikit seniman yang kehidupannya mengenaskan. Penyakit yang menggerogoti tidak mampu ditangani secara baik karena tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Adanya asuransi kesehatan, tentu saja, sangat menggembirakan.
Sayang, pada tataran aplikasi asuransi itu belum berfungsi. Secara pedih Lan Fang bertutur bagaimana Ratna Ibrahim Indraswari dan RM Yunani Prawiranegara—dua  seniman besar Jawa Timur—meninggal dunia setelah terserang stroke tanpa bisa memfungsikan kartu asuransi yang diberikan Gubernur. Sesungguhnya nasib Lan Fang tidak kalah memilukan. Ia sendiri telah berpulang karena sakit. Saya sendiri tidak tahu apakah ia mendapatkan asuransi untuk berobat saat sakit. Tetapi tulisan ini menegaskan kepiluan bahwa kebijakan itu seharusnya bersifat tuntas. Jika tidak bisa dioperasionalkan, lalu apa fungsinya asuransu kesehatan bagi seniman?
Bagian lain yang menarik perhatian saya adalah tulisan dengan judul “Makam Suci Bukit Lingzhan”. Tulisan tersebut, menurut saya, sangat menarik dan informatif. Reportase Lan Fang ke Cina menorehkan penegasan historis bahwa Islam mulai masuk ke negeri itu pada masa Dinasti Tang (618-628 M). Diceritakan oleh Lan Fang bahwa Nabi Muhammad mengirimkan empat orang muridnya ke Cina. Murid pertama berada di Guang Zhou, murid kedua di Yang Zhou, murid ketiga dan keempat berada di Quan Zhou.
Keempat murid tersebut menyebarkan Islam di Cina hingga wafat. Makam murid ketiga dan keempat ada di Bukit Lingzhan, Quan Zhou. Sampai sekarang makam tersebut terus dikunjungi peziarah. Menurut saya, kata “murid” tidak akrab dalam budaya Islam. Kata yang lebih tepat adalah “sahabat”.
Terlepas dari sebutan tersebut, fenomena ini tetap menarik untuk dicermati. Ternyata, sebagaimana dicatatan secara impresif oleh Lan Fang, pemerintah Cina memberikan perhatian khusus terhadap makam kedua sahabat Nabi Muhammad. Meskipun menjadi agama minoritas, perhatian dan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Cina menunjukkan apresiasi terhadap keanekaragaman agama dan budaya. Sayang Lan Fang tidak menulis siapa nama para sahabat tersebut.
Bagian terpenting sekaligus “ruh” buku ini adalah artikel dengan judul “Imlek Tanpa Gus Dur”. Lan Fang itu Gusdurian; pengikut dan pengagum Gus Dur. Saya tidak tahu apakah penilaian saya ini tepat atau tidak. Kesimpulan sederhana ini saya peroleh setelah membaca dan mencermati tulisan demi tulisan di buku ini. Ada lima artikel di buku ini yang secara eksplisit mengungkapkan kekagumannya terhadap Gus Dur. Kekaguman tersebut berkaitan dengan jejak pemikiran, kiprah, dan kontribusi Gus Dur terhadap kehidupan bangsa Indonesia, khususnya bagi warga Tionghoa.
Bagi Lan Fang, Gus Dur adalah pembuka kotak pandora keberagaman. Kontribusi Gus Dur dalam memecah kebekuan budaya Tionghoa tidak bisa dilupakan dalam sejarah kehidupan bangsa ini. Jasa-jasa beliau sangat besar. Jika kini kita bisa merasakan arus kehidupan yang demokratis, salah satu kontributor pentingnya adalah Gus Dur.

22 tulisan di buku ini menunjukkan bagaimana karakter Lan Fang sebagai penulis. Ulasannya mengalir lancar dan menarik. Gaya bahasa esainya, sejauh pengamatan saya, “nyastra”. Wajar saya kira karena dia adalah sastrawan. Meskipun ia telah mendahului kita, karya ini adalah bukti nyata bahwa karya seseorang itu bisa melampaui usia biologis penulisnya. Pengalaman ini semestinya menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk meninggalkan karya tulis, sesederhana apapun.



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.