Beragama Secara Kritis
Judul Buku: Islam Tuhan Islam Manusia, Agama dan
Spiritualitas di Zaman Kacau
Penulis: Haidar Bagir
Penerbit: Mizan, Bandung
Edisi: 2017
Tebal: xxxiii+294 halaman
ISBN: 9786024410162
Peresensi: Ngainun Naim
Saya menyukai buku-buku
karya Bos Penerbit Mizan Bandung, Dr. Haidar Bagir. Saya memiliki sebagian
besar karya beliau. Karena itu ketika ada informasi bahwa beliau menerbitkan
buku lagi, saya segera memburunya.
Buku yang saya ulas ini,
selain isinya yang menarik-mencerahkan, juga memantik reaksi dari kaum Muslim
yang kurang sepakat. Saya sendiri heran kenapa buku sebagus ini ditolak di
banyak tempat. Di IAIN Surakarta, saat buku ini dibedah, konon ratusan orang
berdemonstrasi di luar kampus. Padahal, seandainya mereka yang menolak mau
membaca dengan objektif dan kepala dingin, saya yakin akan menemukan banyak
hikmah dan manfaat.
Hikmah itu bisa diperoleh
dari banyak tempat. Kita sebagai manusia Muslim jangan hanya mau menerima
informasi secara eksklusif. Ada begitu banyak hikmah dari kehidupan ini. Jika
memang tidak sepakat dengan Dr. Haidar Bagir, caranya bukan dengan
demonstransi. Tulislah buku untuk membantahnya. Jika ini yang dilakukan, itu
seimbang.
Mengapa sampai ada kelompok
yang menolak? Tentu tidak mudah untuk menjawabnya. Hal ini disebabkan karena
ada banyak faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Salah
satunya saya kira karena Haidar Bagir menawarkan cara pandang kritis dalam
beragama.
Saya sungguh menikmati buku
karya pemilik penerbit besar di Bandung ini. Bagian demi bagian saya baca
secara cermat di sela-sela kesibukan harian yang cukup padat. Saya berharap
mendapatkan ilmu dan wawasan mencerahkan setelah mencicipi halaman demi halaman
dari buku ini.
Menurut saya, bahasa Haidar
Bagir—khususnya di buku ini—cukup bervariasi: ada bagian yang bahasanya
sederhana, mudah dipahami dan mengalir; ada juga bagian yang cukup rumit
sehingga membuat kening mengernyit. Justru karena itulah tulisan demi tulisan
di buku ini cukup menarik dan menantang.
Salah satu hal yang banyak
diulas di buku ini adalah pentingnya menghadirkan Islam yang berwajah damai.
Wajah damai ini penting untuk terus disuarakan agar Islam Indonesia tampil
sejuk, damai, dan mencerahkan. Di tengah situasi sekarang ini yang oleh Haidar
Bagir disebut sebagai “situasi tidak normal” (h. 166), pemikiran Haidar Bagir
menemukan relevansinya untuk diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Salah satu penanda “situasi
tidak normal” adalah menguatnya kelompok takfiri. Kelompok ini begitu mudahnya
mengafirkan mereka yang berbeda pemikiran dan paham keagamaan (h. 168). Jika
takfiri semakin meluas maka kehidupan sosial keagamaan akan penuh ketegangan.
Saling tuding sebagai kafir akan merebak di mana-mana.
Takfiri harus direduksi.
Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan kultur yang menghargai dan
mengapresiasi terhadap keanekaragaman. Tulisan
demi tulisan yang terdapat di buku ini secara jelas menunjukkan bagaimana
Haidar Bagir adalah sosok pluralis. Di tengah menguatnya arus radikalisme,
pikiran-pikiran Haidar Bagir penting untuk terus dieksplorasi dan
disosialisasikan secara luas. Pemikirannya tentang filsafat Islam, misalnya,
menarik karena tidak hanya sebatas wacana teoretis, melainkan juga dikembangkan
dalam kerangka kontribusi nyata. Ia misalnya menulis, “...meskipun manifestasi
lahiriah agama-agama itu memiliki perbedaan-perbedaan, pada dasarnya akar atau
sumbernya itu sesungguhnya sama” (112). Pemikiran semacam ini lahir dari latar
belakang HB yang menekuni filsafat Islam.
Pokok-pokok pikiran Haidar Bagir
di buku ini merupakan penegasan agar agama dipahami secara dinamis-kontekstual
agar sesuai dengan dinamika perkembangan zaman. Haidar Bagir tampaknya berusaha
secara serius untuk menawarkan pendekatan rasional dalam memahami agama,
meskipun juga tetap mengapresiasi intuisi. Secara jelas ia menyatakan bahwa ia
tidak bisa mengendalikan operasi intuisi, namun ia yakin bahwa, “...aku bisa
menjadikan pemikiran intuitifku mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku
menjaga objektivitas dan keikhlasanku” (xiv).
Menyimak catatan demi
catatan di buku ini bisa dipahami bahwa Haidar Bagir adalah seorang pemikir
agama yang kritis. Cara beragamanya pun demikian. Pada sisi yang berbeda,
Haidar Bagir juga memberikan apresiasi konstruktif terhadap tasawuf.
Implikasinya, meskipun kritis, pemikirannya bermuara pada bagaimana seorang
hamba memiliki hubungan yang dekat dengan Allah.
Parakan Trenggalek, 13-10-2017
WA 081311124546
'Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau'. Saling meng-kafir-kan sesama muslim.
BalasHapusIni kan memang sesuai dengan kenyataan yg sedang terjadi. Terus demonstrasi saat buku ini dibedah, kok bikin geleng-geleng kepala sambil tersenyum nyengir. Hehehehe
Terima kasih Mas
HapusPola pikir berbeda hal yang biasa, tapi kalau sampai mengkafirkan sesama muslim sungguh miris, umumnya pembaca mengedepankan sifat emosionalnya drpd cara berpikir kearah sejuk dan damai
BalasHapusBetul sekali. Terima kasih.
HapusBisa dipahami karena beliau udah dicap Syiah sedari awal. Jadi pemirsa langsung timbul rasa curiga.
BalasHapusKebetulan sy beli buku ini, cuma belum khatam bacanya. Hehe.. Jujur sy sepakat dgn ulasan diatas. Bahasa bukunya emang ada yg pake bahasa 'pasaran', tapi ke belakang buanyak istilah2 aneh dgn nuansa alam kefilsafatan dan tasawuf yg begitu dalam. Nge-blend semua lah pokoknya. Ajib...
Ya. Saya sepakat.
Hapussepertinya buku yang menarik untuk dibaca pak..
BalasHapussaya belum membacanya, namun saya jadi tertarik setelah membaca ulasan yang bapak tulis..
saya sendiri juga seorang pluralisme, yang cinta akan kedamaian..
Bagi saya, buku ini sungguh menarik.
Hapus