Jejak Orang Tua dalam Kehidupan
Judul Buku: Berkah Kehidupan, 32
Kisah Inspiratif tentang Orangtua
Editor: Baskara T. Wardaya
Penerbit: Gramedia Jakarta
Edisi: 2011
Tebal: xiii+394 halaman
Peresensi: Ngainun Naim
Buku
ini sesungguhnya sudah cukup lama saya miliki. Di dalam buku tertulis bahwa
saya membeli buku ini di Pameran yang diselenggarakan oleh Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah Kabupaten Trenggalek pada 17-8-2015. Sudah cukup lama. Namun kesempatan
membacanya baru sekarang ini.
Saya
tidak perlu mencari alasan pembenar mengapa baru membaca sekarang. Sesungguhnya
saya ingin segera menuntaskan membaca setiap buku yang saya miliki. Tetapi
waktu dan kesempatan tampaknya kurang mendukung. Padahal, buku demi buku terus
saja berdatangan tanpa jeda. Implikasinya, antara buku yang saya baca dengan
jumlah buku yang saya miliki tidak seimbang.
Mungkin
Anda bertanya mengapa saya mengulas buku yang terbit cukup lama ini? Ya, buku
ini terbit enam tahun lalu. Jadi memang cukup lama. Ulasan buku biasanya memang
memprioritaskan pada buku-buku baru.
Sengaja
saya membuat ulasan sederhana ini sebagai bagian dari komitmen pribadi dalam
mengikat makna. Setelah membaca buku, apapun temanya dan kapan edisinya, saya
ingin mengikatnya dalam catatan sederhana semacam ini. Insyaallah catatan
semacam ini memberikan manfaat, paling tidak buat saya sendiri. Jadi saya lebih berpikir tentang kemanfaatan,
bukan hanya berdasarkan pertimbangan edisi paling barunya.
Buku
yang diedit oleh sejarawan kritis Indonesia ini, Baskara T. Wardaya, awalnya
ditujukan sebagai apresiasi dan persembahan untuk peringatan 50 tahun
pernikahan orang tuanya. Namun dengan berbagai pertimbangan, Baskara akhirnya
mengundang para koleganya untuk ikut menulis. Maka jadilah buku yang sarat
pengalaman, pemaknaan, dan penghayatan terhadap kehidupan ini.
Buku
ini menarik karena memuat kisah relasi seorang anak dengan orang tuanya. Ada
kisah yang mengharu-biru, penuh perjuangan, ketegangan, dan sarat inspirasi.
Saya kira Baskara T. Wardaya benar saat di pengantar buku ini menulis bahwa
unsur orang tua sangat banyak di dalam diri kita. Semua itu harus kita hargai
sebagai bagian dari kehidupan. Baskara menegaskan bahwa orang tua telah
menanamkan benih kehidupan. Tugas kita sebagai anak adalah menyemainya agar benih
tersebut dapat menjadi pohon yang tumbuh subur.
Penjelasan
Baskara ini menemukan pembenarannya pada kisah banyak penulis di buku ini. Buku
ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama bertajuk, “Orangtuaku,
Sahabatku”. Pada bagian ini ada enam tulisan, yakni Hendro Sangkoyo menulis
“Teman di Saat-saat Sulit”, M. Imam Aziz menulis “Memberi Kebebasan pada Anak”,
Ery Seda menulis “Hidup yang Bermakna”, Hilmar Farid menulis “Dua Manusia
Merdeka”, Ita Fatia Nadia menulis “Bapak dan Ibu di Tengah Pusaran Politik”,
dan Mathias Hammer menulis “Cain, Where is Your Brother?”.
Enam
tulisan di bagian ini menarik semua. Tentu tidak mungkin saya uraikan satu
persatu. Saya ambil contoh tulisan Hendro Sangkoyo, Ph.D., seorang kepala
“Sekolah Terbuka” Ekonomika Demokratik. Hendro menulis bahwa ia banyak belajar
dari kedua orang tuanya. Dari ibunya ia belajar bagaimana sangat
tenang menghadapi situasi model apapun, sedangkan dari bapaknya ia belajar
tentang ketegasan. Perpaduan dua karakter yang sangat menarik. Pada saat kecil,
tidak mudah bagi Hendro memahami dua perbedaan karakter tersebut. Seiring
perkembangan waktu, ia berusaha mensintesiskan kedua karakter, yakni berusaha meneladani
ketenangan-ketegasan dan menerjemahkannya dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Para penulis lainnya,
meskipun memiliki konteks cerita sendiri-sendiri, juga memiliki pengalaman
interaksi model sahabat dengan kedua orang tuanya. Hilmar Farid bercerita
panjang lebar tentang ayah ibunya. Hubungan dirinya dengan kedua orang tuanya
mengalami fase yang disebutnya naik turun. Namun demikian secara luas ia
menyebut bahwa ia belajar banyak kepada kedua orang tuanya. “Dari Ayah, saya
belajar segala yang berurusan dengan pengetahuan, mulai dari bahasa sampai cara
berpikir. Dari ibu, saya menyerap soal-soal yang berkaitan dengan pandangan dan
sikap hidup” (h. 37).
Bagian kedua buku ini
bertajuk “Orangtuaku, Guruku”. Pada bagian kedua ini ada tujuh tulisan, yakni
Kamala Chandrakirana, “Berguru”, Franz Magnis-Suseno, “Orangtua yang Saya
Ingat”, Mudji Sutrisno, “Ayahku Guru dan Ibuku Rahim Syukur”, B. Herry-Priyono,
“Dalam Tegangan Dua Karakter”, Fadjar I. Thufail, “Belajar dari Perbedaan”, St.
Sularto, “Kisah Itu Abadi”, dan Baskara T. Wardaya, “Membantu Tanpa Mengharap”.
Menurut saya, semua tulisan
di bagian ini sama-sama menarik. Saya ambil contoh adalah kisah Mudji Sutrisno,
budayawan yang menyukai etika dan estetika. Beliau menyebut bahwa hal mendasar
yang sangat mengesankan dari ayahnya adalah kesederhanaan. Kesederhanan mewujud
pada semua hal. Ia betul-betul mendalami makna kesederhanaan ini sehingga pasar
yang menjadi transaksi ekonomi orang-orang sederhana menjadi tempat yang sangat
mengesankan baginya.
“Pasar mengajarkan
bahwa makanan yang dijual adalah hasil kerja berkeringat dan diolah dengan
cucuran air mata. Sentuhan makanan para pedagang kecil perlu disadari, dihayati
dan dimaknai saat mengkonsumsinya. Kesadaran seperti ini bisa menjadi awal mula
dari simbolisasi untuk bergerak menuju ke pasar kehidupan dan tidak hanya
berhenti untuk khusuk masuk-asyik di “altar” saja” (h. 104).
B. Herry-Priyono memiliki
kisah yang sangat impresif. Ayah dan ibunya, sebagaimana kisah orang tua Hendro
Sangkoyo, memiliki karakter yang bertolak belakang. Ayahnya adalah sosok yang
sangat setia dan tekun dalam menjalankan tugas. Tidak pernah ia mendengar kata
mengeluh dari mulut ayahnya. Sementara ibunya sangat cekatan, kata-katanya
tajam dan ekspresif, simbol dan metafornya modern dan urban. Realitas ini bisa
diposisikan sebagai perpaduan atau mungkin pertentangan.
Lama B. Herry-Priyono
belajar tentang hal ini. Ia sejak kecil sering tersiksa menghadapi dua rentang
karakter yang bertolak belakang tersebut. Seiring waktu, semua itu bisa
teratasi. “Hanya lambat-laun saya memeluknya sebagai sesuatu yang mengesankan,
saya tidak harus memilihnya salah satu, tetapi hanya menghidupi tegangan
keduanya” (h. 113).
Kemampuan “menghidupi
tegangan keduanya” tidak datang secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari
interaksi dan proses belajar yang panjang. Justru pada titik itulah kehidupan
menjadi sarat dengan makna.
Bagian ketiga berjudul
“Orangtuaku, Inspirasiku”. Pada bagian ini ada enam tulisan, yaitu: Asvi Warman
Adam, “Di Antara Dua Dunia”, Ayu Utami “Memberi Kepenuhan”, Celia Lowe, “So Far
Away from Boston”, F. Budi Hardiman, “Tidak Berutang”, Colin Cahill, “In Black
and White”, dan Yosef Djakababa, “Komitmen untuk Saling Mencintai”.
Sejarawan Asvi Warman Adam
menulis tentang bagaimana sejak kecil ia telah hidup dalam lingkungan majemuk. Kehidupan
masa kecil Asvi Warman Adam di Bukittinggi sudah terbiasa dengan hubungan
antaragama. Ia sendiri dari SD—bersama adik-adiknya—sekolah di sekolah Katolik,
meskipun beragama Islam. Pertimbangannya karena sekolah Katolik sangat
disiplin, sedangkan sekolah negeri gurunya banyak yang terlibat politik (saat
Orde Lama) sehingga mengabaikan tugas pokoknya. Lingkungan sehari-harinya juga
dekat dengan gereja dan suku lain, termasuk etnis Cina. “Jadi kehidupan saya
dipenuhi oleh dialektika antara adat dan Islam, antara Islam dan Katolik,
antara pribumi dan Tionghoa, antara kampung dan rantau, serta ketimpangan
antara Jawa dan luar Jawa. Dan juga dialektika antara orang asing dan sesama
bangsa. Dialektika itu melahirkan sikap kritis” (h. 161).
Lingkungan majemuk semacam
itu menemukan momentum pembentukan karakter Asvi Warman Adam yang semakin kokoh
dari kedua orang tuanya. Diakuinya bahwa ibunya adalah orang yang penyabar,
sementara ayahnya dinilai sebagai orang yang sangat disiplin dan kritis.
Pengaruh kritis ayahnya terbawa dalam bidang sejarah ia tekuni. Namun pengaruh
ibunya juga mempengaruhi dirinya. Dalam catatan penutup, catatan Asvi Wardaman
Adam menulis, “Tapi setelah melakukan kritik, lalu mau apa? Ya bersabar seperti
dicontohkan oleh Ibu saya” (h. 165).
Tentang bagaimana menjalani
hidup dan mencintai diuraikan secara menarik oleh ahli filsafat Dr. F. Budi
Hardiman. Pakar Habermas tersebut menyatakan bahwa orang tuanya yang menanamkan
tentang keberanian untuk menjalani kehidupan yang penuh dinamika ini. Selain
itu, orang tuanya juga mengajarkan tentang bagaimana mencintai dalam maknanya
yang luas.
Ada aspek yang saya kira
menarik dari paparan F. Budi Hardiman, yaitu tentang bagaimana memahami orang
tua. Dunia, perspektif, dan paradigma orang tua yang berbeda dengan anak
seringkali berujung pada ketegangan, bahkan konflik. Kondisi itu dapat
diminimalisir atau bahkan dicegah jika orang tua dipahami dengan hati, bukan
dengan kepala (h. 178).
Karakter orangtua F. Budi
Hardiman yang saya kira penting untuk dihadirkan dalam konteks kehidupan
sekarang ini adalah mereka berusaha keras dalam hidupnya untuk tidak berhutang.
Ya, ayahnya sangat tegas tentang persoalan ini. Di tengah kehidupan masyarakat
sekarang yang secara sistemik membuat seseorang begitu mudah terjerat hutang,
ajaran orangtua F. Budi Hardiman seperti oase di tengah padang pasir.
Bagian empat buku ini
bertajuk “Orangtuaku, Motivasiku”. Penulis bagian ini adalah Benedict Anderson
“Djangan Pukul Orang Jang Lebih Lemah”, Djoko Pekik “Empat Puluh Hari Setelah
Bung Karno”, George J. Aditjondro “Antisogok dan Cinta Budaya”, P. Wiryono
Priyotamtama “Berani Hidup Melawan Segala Rintangan”, Stanley Adi Prasetya
“Mereka Bagaikan Busur Kehidupan”, dan Degung Santikarma “Anak, Orang Tua dan
Tragedi ‘65”.
Saya terpesona dengan cara
bertutur Benedict Anderson. Tulisan Ben saya jadikan sampel untuk diulas. Ia
menulis menggunakan ejaan lama. Coba lihat judul tulisannya, “Djangan Pukul
Orang Jang Lebih Lemah”. Membaca seluruh isi tulisannya memaksa kita untuk
beradaptasi dengan tulisan sebelum Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Tetapi
membaca isinya Anda akan menemukan kata-kata dan istilah kontemporer. Ia
menyebut Bapak dengan Bokap, Ibu dengan Njokap, cewek dengan doi, dan
sebagainya.
Benedict Anderson adalah
Indonesianis yang sangat kritis. Modal untuk menjadi ilmuwan tangguh berasal
dari didikan orang tuanya. “Mereka mengandjurkan kami untuk batja, batja, dan
batja, termasuk buku2 untuk orang dewasa, di perpustakaan mereka di rumah”.
Anjuran orang tuanya untuk banyak membaca didukung oleh situasi zaman yang
memang kondusif. “Untungnja ketika itu tak ada videogame, tak ada kompyuter,
tak ada TV. Jang ada ja tjuman radio. Djadi kami beladjar terus-menerus” (h.
215-216).
Bagian lima bertajuk
“Orangtuaku, Penopangku”. Penulis pada bagian ini adalah A. Syafii Maarif
“Ayah-Bunda dan Aku”, G. Budi Subanar “Menciptakan Rumah dan Memberi Jiwa”, A.
Sudiarja “Bapakku Pegawai Kecil, Ibuku Buruh”, Hersri Setiawan “Ibu Tetap Ada
Sampai Kapan Pun”, P.M. Laksono “Ketegasan Bapak, Kesejukan Ibu”, Reni Patria
Isa “Cintanya Pada Indonesia Tak Pernah Luntur”, dan Pipit Rochijat
Kartawidjaja “Hormat Sama Orang Berpendirian”.
G. Budi Subanar menulis
bahwa Bapaknya menekankan sikap hormat, bukan disiplin ala militer. Pada
Bapaknya, G. Budi Subanar belajar tentang bagaimana teladan itu termanifestasi
pada perilaku, bukan sebatas kata-kata. Sementara pada ibunya ia belajar
tentang kesabaran. Ia mempertegas bahwa dalam kesabaran terdapat harmoni.
Sementara Dr. A. Sudiarja
lebih banyak mengulas keteladanan dari Ibu Bapaknya. Namun terlihat pengaruh
Bapaknya yang cukup kuat. Ia menulis bahwa ada tiga hal yang ia kenang dari
Bapaknya, yaitu: (1) hidup sederhana apa adanya, berusaha sedapat mungkin tidak
pamer kebaikan, tidak menutupi kekurangan; (2) tidak takut bersusah payah untuk
kemajuan diri dan kebaikan kepada yang lain, menghargai nilai perjuangan; dan
(3) kehidupan sosial yang baik, bertetangga dan berteman dengan siapa pun,
tanpa membeda-bedakan (h. 300).
Orang tua para penulis di
buku ini memang sangat mengesankan. Saya membaca secara cermat satu demi satu
kisah di buku ini. Semuanya mengesankan dan memberikan inspirasi. Begitulah,
meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda, relasi dengan orang tua adalah
bagian yang unik dalam kehidupan. Justru karena itulah buku ini telah
memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada saya.
Tulungagung, 31 Mei 2017
jadi buku itu berisi pengalaman hidup dari beberapa orang ya pak
BalasHapusya buku lama dan buku baru bukan masalah yang penting isinya tidak kadaluarsa seperti makanan, bukan begitu pak ?
Betul sekali. Buku itu yang penting bermanfaat. Terima kasih berkenan membaca. Salam.
HapusSatu buku dengan beberapa penulis yang memiliki beberapa perbedaan cerita namun memiliki kesamaan dalam hubungan dengan orang tua.
BalasHapusDan sepertinya aku juga tertarik dengan gaya tulisan dari Benedict Anderson. Menulis dengan menggunakan ejaan lama, tetapi tulisannya menggunakan bahasa gaul. Keren... Hehehe
Begitulah Mas. Ya, Anderson memang ilmuwan kelas dunia. Gaya bertuturnya mengalir lancar.
Hapussepertinya amat menarik buku ini
BalasHapusBetul sekali Bu. Menarik sekali.
Hapus