Pemuda, Media Online dan Deradikalisasi

Desember 23, 2016


Oleh Ngainun Naim

Dari kiri ke kanan: Saya, M. Aminuddin Jabir, Nunung Rodiyah, dan Saivol Firdaus.

Hari minggu tanggal 19 Desember 2016 saya mendapatkan amanah untuk menjadi pembicara Seminar Nasional yang dilaksanakan oleh KNPI Tulungagung di Hotel Narita Tulungagung. Tema seminar adalah “Peran Pemuda dalam Pengawasan Penyiaran Sebagai Pilar Penjaga Moralitas Bangsa”. Pembicara yang lain adalah Nuning Rodiyah dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI Pusat) dan Ketua PWI Tulungagung, M. Aminuddin Jabir.
Pada seminar ini saya menyajikan materi yang judulnya sama dengan judul tulisan ini, yaitu “Pemuda, Media Online dan Deradikalisasi”. Pada bagian awal, dengan mengutip tulisan Ariel Heryanto yang berjudul, “Budaya Pop dan Persaingan Identitas” (dari buku Ariel Heryanto (ed.), Budaya Populer di Indonesia, Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru, terj. Eka S. Saputra, Yogyakarta: Jalasutra, 2012, halaman 7, saya menulis bahwa media sekarang ini telah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan masyarakat sekarang ini. Media yang kini banyak menyita perhatian, energi, dan waktu bagi masyarakat Indonesia adalah televisi. Selain televisi, internet dengan segala jenis jejaring sosialnya juga dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya pemuda.
Selanjutnya saya menulis bahwa media itu tidak netral. Ada muatan nilai dan kepentingan yang diusung dari setiap tampilan media. Kemampuan media untuk menciptakan realitas dimulai dari kekuasaannya untuk menentukan jenis lansiran yang akan disebar kepada masyarakat. Mengutip pendapat Alex Sabur, proses penentuan berita dikenal dengan istilah framing, yaitu sebuah proses penyeleksian dan penyorotan  khusus terhadap aspek-aspek realita oleh media. Proses framing fokus pada strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar berita tersebut lebih bermakna, lebih berarti atau lebih diingat, dan untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. (Informasi lebih jauh bisa dibaca di Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wcana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), halaman 163.
Bahan presentasi

Dalam konteks moralitas, pemberitaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan moralitas lebih sering dalam bentuk glamorisasi, pemujaan, dan dijadikan sebagai life style. Hal yang sama juga berlaku untuk konteks radikalisme. Implikasinya, masyarakat yang mengkonsumsi berita akhirnya mengikuti atau paling tidak menyetujui terhadap apa yang ditayangkan oleh media. Jika proses ini berlangsung secara massif dan dalam jangka waktu yang panjang maka terbangun konsepsi dan penerimaan masyarakat terhadap fenomena demoralisasi dan radikalisasi.
Media, apa pun bentuknya, memiliki banyak fungsi. Media bukan hanya berfungsi sebagai saluran pesan, melainkan juga sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Media, dengan demikian, berfungsi layaknya agen konstruksi sosial dalam mendefinisikan realitas.
Segala yang menarik perhatian akan menjadi pokok perhatian (viral) masyarakat secara luas. Sekitar 10 tahun lalu, Inul Daratista adalah sebuah fenomena. Ariel Heryanto yang bukunya sudah saya sebutkan di atas, pada halaman 24 menulis bahwa, “Hanya dalam satu malam saja Inulmania melanda Indonesia dan dalam hitungan mingguan Inul berjingkrak dan menguasai sampul depan majalah-majalah nasional terkemuka, dan muncul di televisi lebih sering ketimbang kepala negara”.
Persebaran informasi di media online sekarang ini jauh lebih cepat lagi. Apa yang baru saja diunggah, sangat mungkin tersebar menjadi viral hanya dalam hitungan menit.  Persoalannya, media online sekarang ini digambarkan laiknya sebuah ruangan yang penuh sesak dengan berbagai konten negatif yang bernuansa kebencian, penghasutan, permusuhan, dan ajakan kekerasan.
Presentasi

Media sosial ibarat snack. Sedikit, renyah, dan menyenangkan. Konten emosi lebih kuat bila dibandingkan dengan media mainstream yang lebih faktual dan rasional. Ternyata pengaruh status dengan muatan negatif lebih kuat jika dibandingkan dengan status positif. “Hal ini berkaitan dengan sifat dasar manusia yang menganggap sesuatu yang negatif sebagai sinyal bahaya”, kata Roby Muhamad, Peneliti Status Media Sosial dari UI sebagaimana dimuat Harian Jawa Pos, Selasa, 6 Desember 2016, halaman 7.
Media itu memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Ia bisa membentuk cara berpikir seseorang. Bahkan orang yang telah cukup matang dalam kemampuan berpikirnya pun bisa dipengaruhi oleh media. Ia bisa berubah dalam pikiran, pemahaman, dan tindakannya karena kekuatan tulisan di media. Jika orang yang telah matang berpikir saja bisa berubah maka perubahan lebih mungkin terjadi pada anak-anak dan pemuda. Bahkan, “...ia bisa menentukan hitam putihnya pikiran mereka, meskipun orang tua mendampingi anak-anaknya setiap hari” (Muhammad Fauzil Adhim, Spiritual Parenting, (Bandung: Mizania, 2006), halaman 209.
Pemuda merupakan sasaran radikalisme. Setidaknya ada empat alasannya. Pertama, konten digital yang tersebar di internet banyak mengandung aspek radikalisme. Pilihan internet ini karena lebih mudah untuk diakses banyak kalangan. Anak-anak muda adalah konsumen internet terbanyak. (Informasi lebih jauh bisa dibaca di “Literasi Digital Atasi Ekstremisme”, Kompas, 6 Desember 2016.
Kedua, internet cocok dengan gaya hidup pemuda zaman sekarang. Pemuda sekarang nyaris tidak ada yang  tuna internet. Persoalannya, mereka menggunakan internet tanpa dilandasi oleh pengetahuan, wawasan, dan nalar kritis. Implikasinya, pemuda mudah terjerumus terhadap berbagai perilaku menyimpang atau melanggar moralitas, termasuk mudah terjebak ke dalam ajakan radikalisme.
Ketiga, pemuda memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, termasuk keinginan mencoba hal-hal baru. Dalam kerangka ini, tidak jarang pemuda tidak mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.
Keempat, kondisi psikologis pemuda biasanya belum matang sebagaimana mereka yang sudah dewasa. Selain itu, pengalaman hidup mereka juga belum terlalu banyak. Inilah yang menjadikan pemuda adalah sasaran berbagai kepentingan, termasuk radikalisme.
Pada bagian akhir, saya menawarkan beberapa langkah deradikalisasi. Pertama, sikap penting yang semestinya dibangun dalam membaca berita dari media apapun adalah sikap kritis. Jangan langsung percaya terhadap setiap berita yang ada di media. Tidak setiap kebenaran di media itu otomatis tanpa kesalahan. Berita yang disajikan di media, khususnya di internet, harus diposisikan sebagai objek yang harus dikritisi. Apalagi sekarang ini berita hoax begitu banyak ditemukan, khususnya lewat jejaring sosial.
Kedua, literasi media. Kehidupan yang semakin kompleks, terutama dengan hadirnya media, seharusnya menyadarkan banyak pihak untuk memahami realitas secara objektif. Media telah ada dan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan. Keberadaan media bukan hanya sekadar sebagai pelengkap saja melainkan telah menciptakan ketergantungan. Pada kondisi semacam ini, sikap yang penting dikembangkan adalah literasi media. Literasi media adalah kemampuan membaca dan menulis secara konstruktif di media.
Ketiga, kebijakan. Media online sekarang ini seolah tanpa kendali. Segala jenis isi tersebar luas tanpa ada yang mengendalikan. Siapa pun bisa masuk di dalamnya secara bebas. Justru karena kebebasan yang tanpa kendali inilah yang kemudian membawa dampak yang sangat besar, khususnya pada aspek moralitas. Pergeseran moralitas yang sekarang ini semakin liberal dan permisif disebabkan—salah satunya—berkembangnya media online. Diperlukan kebijakan yang tepat untuk membentengi masyarakat Indonesia. Globalisasi memang memberikan aspek positif, tetapi dampak negatifnya juga luar biasa. Justru karena itulah diperlukan kebijakan yang mengatur media online agar bisa meminimalisir berbagai ekses negatifnya.
Keempat, penguatan pendidikan. Pendidikan adalah institusi yang paling efektif di dalam mewujudkan manusia bermoral dan berkualitas. Institusi pendidikan penting untuk memperkuat dirinya agar anak didiknya bisa dicegah dari berbagai ekses negatif media. Jangan sampai sekolah kehilangan peran strategisnya dalam kerangka mewujudkan manusia yang bermoral dan berkualitas. Justru yang ironis, sekolah tertentu dimasuki oleh orang-orang tertentu yang mengusung ideologi radikalis. Aspek ini penting untuk menjadi perhatian kita semua.

4 komentar:

  1. apa mungkin, untuk internetan perlu diadakan seleksi? oh, andaikan mungkin...kita pasti enggak capek baca2 adu status di linimasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah salah satu kelebihan sekaligus kekurangan internet. Maka saya membayangkan seandainya bisa diseleksi, tentu akan lebih menyenangkan.

      Hapus
  2. Terkadang miris juga jika melihat berita hoax, entah kenapa semakin maju perkembangan teknologi semakin banyak yang menyalahgunakan media sosial untuk ajang berita yang belum tentu kebenaran, perdebatan yang tak ada arah dan tujuannya dll. Andai internet digunakan dengan hal-hal positif... pastinya akan damai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hoax memang mengerikan Mbak. Karena itu dibutuhkan "literasi media" agar kita tidak mudah mempercayai begitu saja setiap berita yang ada.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.