Berkenalan dengan Etnografi

Juli 30, 2016


Oleh Ngainun Naim
 
Adlin Sila berkenalan dengan peserta

Mendalami bidang baru dalam penelitian dengan berguru langsung kepada ahlinya sungguh menyenangkan. Saya menjadi sedikit lebih paham dibandingkan sebelumnya yang sekadar membaca buku saja. Hal itu yang saya rasakan saat mendapatkan materi etnografi dari Dr. Muhammad Adlin Sila, M.A.
Peneliti dari Puslitbang Kemenag ini meraih dua gelar doktor, yaitu dari Universitas Indonesia dalam bidang Sosiologi dan dari Australian National University (ANU) dalam bidang Antropologi. Meraih dua gelar doktor jelas tidak mudah. Itu merupakan prestasi akademik yang tidak sederhana. Hal itu juga menunjukkan bahwa Dr. Muhammad Adlin Sila adalah seorang ilmuwan dengan kapasitas keilmuan yang tidak perlu untuk diragukan lagi.
Peserta serius mendengarkan paparan narasumber

Pada awal sesi, Adlin bertanya secara individual kepada peserta yang duduk di bangku depan. Dengan sabar ia mendengarkan penjelasan peserta dan bertanya tentang beberapa hal. Setelah selesai pada barisan pertama, ia kemudian masuk ke materi, yaitu tentang etnografi.
Menurut Adlin Sila, substansi etnografi adalah understanding, verstehen, yaitu membangun pemahaman yang sama dengan orang yang diteliti. Membangun pemahaman ini jelas bukan pekerjaan sederhana dan mudah. Implikasinya, seorang etnografer itu harus lebih banyak mendengar, sabar, tidak menggurui, dan tidak ingin cepat-cepat mendapatkan hasil. Jika pun tidak sepakat dengan pendapat informan, jangan dikonfrontir secara langsung dengan informan. Adlin Sila secara bagus memberikan contoh apa yang dilakukannya pada awal sesi. Sabar dan tenang mendengarkan penjelasan orang lain merupakan aspek yang melekat pada seorang etnografer. Kesabaran ini akan melahirkan understanding orang atau masyarakat yang diteliti. Seorang etnografer, karenanya harus ”mendengarkan” atau ”mengorangkan” yang diwawancarai.
Aspek penting yang menentukan keberhasilan penelitian etnografi adalah kepercayaan. Adlin Sila menjelaskan satu istilah penting dalam etnografi, yaitu rapport. Rapport adalah trust building, yaitu membangun kepercayaan orang yang diwawancarai agar mereka terbuka dan menyampaikan secara jujur, terbuka, dan apa adanya sesuai dengan yang kita inginkan. 
Foto bersama narasumber

Membangun kepercayaan itu sangat penting. Saat wawancara, sangat mungkin seseorang memberikan jawaban yang memerlukan penelusuran lebih jauh. “Belum tentu jawaban itu seperti yang disampaikan informan karena individu itu subjektif. Bukan berarti tidak percaya. Jawaban yang diberikan itu masih sementara. Rapport itu mencari ”apa yang sebenarnya terjadi di lapangan” yang kemudian memunculkan pertanyaan lanjutan sampai jenuh. Karena itu ketemu dengan informan bisa berkali-kali”, tegas Adlin Sila.
Dalam menggali data, ada hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti etnografi, yaitu pentingnya seorang gatekeeper yang berperan sebagai perantara antara peneliti dengan informan. Sederhananya, gatekeeper itu semacam kontak person. Mereka berfungsi sebagai jembatan yang membantu menghubungkan antara peneliti dengan informan.
Namun demikian seorang etnografer harus memahami bahwa adanya gatekeeper bukannya tanpa kelemahan. Kelemahannya biasanya seorang gatekeeper cenderung mengarahkan ke orang-orang tertentu karena ingin informasi yang diperoleh oleh peneliti hanya yang baik-baik saja. Seorang etnografer seharusnya mampu menggali hal-hal yang ada secara lebih mendalam dan apa adanya.
Slide narasumber

Oleh karena itu, Adlin Sila memberikan saran agar gatekeeper itu tidak hanya satu orang saja, melainkan beberapa orang. Beberapa orang memberikan peluang lebih besar untuk menghadirkan data secara lebih komprehensif.
Selain itu, hal yang juga penting untuk diperhatikan adalah gatekeeper sebaiknya berasal dari komunitas yang diteliti. Pertimbangannyaa karena mereka lebih mengetahui secara detail terhadap kondisi komunitas atau individu yang diteliti.
Adlin Sila membuat tamsil yang menarik mengenai kerja etnografi, yakni ibaratnya seperti memasuki rumah. Seorang gatekeeper sangat besar perannya dalam menentukan agar seorang peneliti bisa masuk ke ”halaman rumah”. Setelah seorang peneliti bisa masuk ke ”halaman rumah”, maka jangan puas. Harus diusahakan bisa sampai ke ”teras rumah”. Sekali lagi Adlin Sila mengingatkan agar jangan puas saat diterima di ”teras rumah” di mana semua pertanyaan sudah terjawab. Itu baru memperoleh data ”teras rumah”, padahal yang diinginkan adalah understanding seluruh isi rumah.
Lebih lanjut Adlin Sila menjelaskan bahwa penelitian etnografi tidak bisa dilaksanakan hanya dengan sekali kunjungan dan dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan  keterlibatan secara intensif seorang peneliti dan dalam waktu yang lama. Karena itu seorang etnografer harus memiliki komitmen, passion, dan kecintaan terhadap etnografi. Implikasinya, seorang etnografer harus sabar dan jujur; sabar karena sekali datang tidak mungkin mendapatkan semua data dan jujur tanpa menyembunyikan hal-hal tertentu. Etnografer yang tidak jujur bisa menggugurkan trust yang sudah diberikan oleh informan atau komunitas tempat dilaksanakannya penelitian.
Etnografi itu berlandaskan pada filsafat post-positivisme.  Apa yang diminta adalah subjektivitas sebagai peneliti. Dalam analogi yang digunakan oleh Adlin Sila tentang rumah, yang seharusnya diperoleh dalam penelitian etnografi adalah ”rumah secara keseluruhan”, bukan sekadar ”teras” atau ”ruang tamu”. Berbeda dengan penelitian kuantitatif, instumen etnografi adalah adalah peneliti sendiri. Karena itu pada aspek validasi, yang harus divalidasi adalah diri peneliti sendiri.
Penelitian etnografi tidak selalu mudah, bahkan pada kondisi tertentu bisa sangat sulit dan beresiko. Adlin Sila bercerita bagaimana untuk membangun trust saat ia melakukan penelitian, dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Durasi waktu yang sepanjang itu tentu membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk menjalaninya. Tidak jarang etnografer yang belum berpengalaman pada akhirnya mundur karena gagal masuk ke komunitas yang akan diteliti. Ada beberapa kemungkinan negatif yang harus diterima oleh seorang peneliti, yaitu: (1) dicurigai; (2) ditolak; (3) diusir; (4) disandera; dan bahkan (5) dibunuh. 

Tentu semua berharap agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Seseorang yang jelas-jelas memilih melakukan penelitian etnografi harus memahami berbagai kemungkinan yang ada, baik positif maupun negatif. Pemahaman ini penting untuk membangun strategi dan berbagai kemungkinan yang akan dihadapi saat melaksanakan penelitian.
Saat kepercayaan masyarakat sudah terbangun, penelitian menjadi mudah untuk dijalankan. Peneliti etnografi akan menjadi bagian dari masyarakat atau komunitas yang ditelitinya. Kepercayaan itu harus dijaga dan dikelola secara baik. Saat penelitian ditulis, juga harus mendapatkan persetujuan dari komunitas yang diteliti. ”Itu disebut native understading”, jelas Muhammad Adlin Sila. Hal ini merupakan manifestasi dari trust yang sudah terbangun. Sekali kepercayaan ternodai maka tidak mungkin lagi seorang peneliti etnografi mendapatkan hasil penelitian yang baik dari komunitas tersebut.
Saat seorang peserta bertanya tentang batas selesainya penelitian etnografi, Adlin Sila menjelaskan bahwa penelitian etnografi itu tidak pernah selesai. Jadi semacam siklus. Suatu saat peneliti akan terus kembali ke daerah itu. Adlin Sila menyebutnya sebagai prolong engagement. Dan cara ini menjadi metode memvalidasi.
Bagaimana cara memutuskan lokasi penelitian? Ada banyak cara yang bisa dilakukan. Adlin Sila menyarankan agar seorang peneliti etnografi banyak membaca buku-buku tentang lokasi di mana akan meneliti. Seorang peneliti harus menemukan celah, lalu buat pertanyaan penelitian yang mensistematisir celah yang akan diteliti. Setelah semuanya jelas, baru ke lapangan. Karena telah memiliki bekal pengetahuan yang memadai maka ada proses yang mengalir. Dalam proses mengalir ini seorang etnografer harus rajin membuat catatan. Terkadang memori memang diandalkan karena tidak memungkinkan untuk mencatat seketika itu juga. Karena itu seorang peneliti etnografi harus memiliki ingatan yang kuat. ”Catat saja kata-kata kuncinya, tetapi detailnya harus diingat. Ada istilah Jotted Notes yaitu catat ketika ingat. Saat ada kesempatan harus ditulis. Cara membahasakan kembali disebut paraphrase: menulis dengan bahasa sendiri”, papar Muhammad Adlin Sila.
Aspek yang perlu diperhatikan yaitu catatan lapangan harus diberi judul, tempat, waktu, dan konteks. Hal ini penting agar catatan demi catatan yang ada tidak kehilangan konteks saat dicermati kembali. Setelah mencatat kemudian dianalisis. Jika ada yang belum jelas, maka akan muncul pertanyaan lagi. Itu artinya working rapport, yaitu laporan yang belum selesai. Ada sesuatu yang belum memuaskan karena kurang. Proses meng-counter dilakukan setelah menuliskannya.
Sesungguhnya etnografi tidak cukup dipelajari hanya dalam sebuah pertemuan. Ada begitu banyak pengetahuan yang penting dipelajari dari bidang ini. Tetapi sebagai perkenalan, saya mendaapatkan sangat banyak hal berharga dari paparan yang diberikan oleh Dr. Muhammad Adlin Sila. Semoga suatu saat mendapatkan kesempatan mendalami dan mempraktikkannya dalam sebuah penelitian.

Ciputat, 30 Juli 2016

3 komentar:

  1. Laporan yang sangat bagus, saya pernah praktek etnograf (disertasi) meskipun mungkin belum sempurna.

    BalasHapus
  2. Laporan yang sangat bagus, saya pernah praktek etnograf (disertasi) meskipun mungkin belum sempurna.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, malah baru tahu. Saya harus baca disertasinya Dr. M. Arif Faizin.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.