Mahasiswa, Tradisi Menulis, dan Transformasi Sosial
Oleh Ngainun Naim
Menulis adalah proses belajar
yang tak berkesudahan di tengah berbagai informasi yang berdayung di mana-mana—Ratna Indraswari Ibrahim
Sepandai
apa pun seorang manusia, apabila di dalam hidupnya ia tidak menuliskan
kepandaiannya itu dalam bentuk karangan, begitu ia meninggal dunia maka
karyanya kurang dikenang dan diwaris oleh generasi selanjutnya—Pramoedya Ananta Toer
Menulis
adalah belajar. Oleh karena itu sangat menyenangkan—Prof. Dr. Muhammad Chirzin
Menulis merupakan kegiatan
penuangan ide yang memiliki pengaruh luas dan lebih awet. Karya tulis bisa
dibaca oleh masyarakat luas dan dalam rentang waktu yang lama. Sementara ucapan
lisan hanya diketahui dalam skala yang terbatas. Misalnya kita mendengarkan
ceramah, maka hanya hadirin yang ada di tempat ceramah itu saja yang tahu,
sementara mereka yang berada di lain tempat tidak mengetahuinya. Selain itu,
apa yang dibicarakan dalam forum ceramah itu akan hilang begitu saja ketika
acara usai. Sementara tulisan, sepanjang bentuk fisiknya masih ada, masih dapat
dibaca, ditelaah, dan terus dikaji sepanjang masa.
Satu
contoh adalah Imam al-Ghazali. Kita semua tidak ada yang tahu dan berkenalan secara
fisik dengan beliau. Beliau hidup di masa yang jauh sekali dengan kita, karena
telah meninggal dunia pada tahun 1111 M. Jadi, rentang waktunya memang sangat
jauh dari kita. Tetapi nama Imam al-Ghazali dan pemikirannya masih memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan umat Islam sampai sekarang ini karena
beliau meninggalkan karya tulis yang berlimpah.
Mungkin menyebut nama Imam al-Ghazali terlalu besar dan
terlalu jauh dari konteks kita sekarang ini. Kalau dalam konteks sekarang,
mungkin bisa kita sebut nama yang sedang tenar, Andrea Hirata. Novelnya yang fenomenal, Laskar Pelangi, membius puluhan ribu pembaca Indonesia. Tidak hanya itu, novel
tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan banyak orang.
Inspirasi Laskar Pelangi telah
mengubah kehidupan banyak orang.
Selain Andrea, tentu ada banyak lagi tokoh yang menebarkan
pengaruh kepada masyarakat dalam skala luas karena karya-karya mereka. Bukan
persoalan besar atau kecilnya pengaruh, tetapi yang lebih penting adalah mau
dan mampu menulis sehingga dapat dibaca oleh banyak orang. Dalam kerangka
inilah, seharusnya mahasiswa mulai memikirkan strategi transformasi sosial
lewat jalur menulis. Lewat menulis, ide-ide dan gagasan dapat tersalurkan
secara luas dan lebih awet.
Peran Mahasiswa
Mahasiswa sesungguhnya memiliki peran signifikan dalam
dinamika sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa besar di Indonesia selalu
melibatkan peran mahasiswa. Sumpah pemuda tahun 1928, Proklamasi, tumbangnya
Orde Baru, dan Reformasi adalah peristiwa penting yang melibatkan mahasiswa.
Tentu ada banyak peristiwa lainnya yang juga melibatkan mahasiswa di dalamnya.
Dalam era sekarang, diperlukan pemikiran serius mengenai
peran apa yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Demonstrasi, gerakan kritis, dan
sebagainya memang tetap diperlukan, tetapi juga penting untuk memikirkan
gerakan lain yang selama ini mulai banyak ditinggalkan oleh mahasiswa, yaitu
gerakan menulis. Media menulis sekarang ini sangat luas. Selain lewat media
cetak, ada banyak media lain yang dapat digunakan mahasiswa untuk menyalurkan
ide dan gagasannya. Internet menjadi media yang memungkinkan mahasiswa sekarang
ini untuk berekspresi, menyebarkan ide, dan dalam kerangka luas melakukan
transformasi sosial. Memang, pengaruh dari tulisan tidak sehebat dan secepat
gerakan fisik atau gerakan massa. Tetapi jika kita cermati, pengaruh menulis jauh
lebih lama, mengakar kuat, dan membangun kesadaran dalam skala yang luas.
Banyak yang menilai bahwa
menulis itu pekerjaan yang cukup berat. Tidak semua orang dapat melakukannya.
Hanya sebagian kecil saja yang mampu menuangkan ide, melontarkan gagasan, dan kemudian menyelesaikan
sebuah naskah sampai tuntas. Sementara sebagian besar dari kita jarang yang
mampu menulis dalam makna yang sesungguhnya. Mungkin saja ada di antara kita
yang otaknya penuh dengan ide, atau keinginan menulisnya begitu menggembu-gebu,
tetapi kemudian tidak sampai pada aksi. Semuanya baru sebatas angan-angan.
Ingin bukti? Sekarang coba
amati di kalangan mahasiswa dan dosen. Berapa orang dari ribuan mahasiswa dan
dosen yang aktif menulis? Jawabnya hanya sebagian kecil saja. Oleh karena itu,
mereka yang mau dan ingin menulis secara konsisten, bukan menulis secara
terpaksa, dapat dikategorikan sebagai "makhluk
langka", karena memang yang mau, dan mampu menulis ternyata hanya
sebagian kecil saja. Tampaknya kita memang lebih terbiasa ngomong daripada
menulis.
Syarat menulis adalah memiliki
kemauan untuk terus menulis. Ya, menulis tentang apa saja, dimana saja, kapan
saja, dan tidak boleh patah semangat. Jangan pedulikan soal kualitas, karena
kualitas akan meningkat seiring dengan seringnya menulis. Karena itu kalau saya
ditanya caranya menulis, jawabnya cuma satu; MENULISLAH sekarang juga. Jangan lagi ditunda. Hal utama yang harus dibangun
saat akan (dan sedang) menekuni dunia menulis adalah memompa semangat menulis,
menjaga secara konsisten, tekun, rajin dan terus berusaha menulis. Tundukkan
semua hambatan dan halangan yang membuat sulit menulis.
Menulis itu Tidak Berat
Sebenarnya menulis tidak berat
asal kita menjadikan menulis sebagai kegiatan yang kita nikmati, kita hayati
dan kita jadikan sebagai bagian tidak terpisah dari kehidupan kita. “Menulis
bagi saya ibarat bernafas”, kata penulis wanita Naning Pranoto. Bernafas adalah
penopang utama hidup. Kalau sampai tidak bernafas berarti kita mati. Demikian
juga dengan menulis. kalau kita tidak menulis ibaratnya juga mati.
Beberapa nama yang dapat
dijadikan contoh adalah: Rosihan Anwar, D Zawawi Imron, Pipiet Senja, Muhidin M.
Dahlan, Pramoedya Ananta Toer, Ajib Rosidi, dan masih sederet nama lainnya.
Dengan demikian, menulis tidak
mensyaratkan secara mutlak terhadap jenjang pendidikan. Bahkan sejujurnya,
kalau kita mau menikmati dan menjadikan sebagai proses, kegiatan menulis
makalah sebenarnya merupakan media yang cukup efektif untuk mengasah
ketrampilan menulis.
Menulis itu pekerjaan yang
cukup berat. Tidak semua orang dapat melakukannya. Hanya sebagian kecil orang
yang mampu menemukan ide, menyusun kalimat, dan kemudian menyelesaikannya
menjadi sebuah tulisan. Sementara sebagian besar yang lainnya jarang yang mampu
melakukannya. Mungkin ide mudah didapat, tetapi giliran mau menuangkannya di
komputer atau kertas, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Mungkin saja ada
di antara kita yang semangat menulisnya tinggi, tetapi tidak diikuti dengan aksi nyata.
Melihat sedikitnya orang yang
mau dan mampu menulis, wajar jika dikatakan bahwa menulis merupakan pekerjaan
yang cukup berat. Bahkan Anwar Holid dalam bukunya Keep Your Hand Moving (2010: xvi-xvii) menyatakan kalau menulis
memang bukan hal mudah. Tidak sedikit orang yang memiliki semangat tinggi saat
ikut pelatihan menulis, tetapi begitu praktik, dia tidak lagi memiliki
semangat. Ia menyerah pada rumitnya memindahkan bahasa pikiran ke tulisan. Ada
juga orang yang merasa sudah putus asa sebelum mulai menulis karena merasa
memang tidak berbakat.
Melihat realitas sedikitnya
orang yang mampu menulis, wajar jika ada yang menyebut bahwa penulis itu
merupakan "makhluk
langka".
Disebut demikian
karena memang yang mau dan mampu menulis ternyata hanya sedikit sekali. Tampaknya, kita memang
lebih terbiasa ngomong daripada menulis.
Siapa pun Anda, apa pun
profesi Anda, jika memang ingin menjadi penulis, langkah awal yang harus Anda
bangun adalah membangun tekad dan kemauan keras untuk terus menulis. Mungkin Anda bertanya,
menulis tentang apa? Tulislah apa saja, mulai hal sederhana sampai hal yang
paling rumit. Seorang penulis akan selalu berusaha meluangkan waktu untuk
menulis. Saat menulis, jangan pedulikan soal kualitas karena kualitas akan
meningkat seiring dengan seringnya Anda menulis. Karena itu kalau saya ditanya caranya menulis, jawabnya cuma
satu, yaitu MENULISLAH sekarang juga. Jangan lagi ditunda.
Satu hal utama yang harus Anda bangun saat akan (dan
sedang) menekuni dunia menulis adalah memompa semangat menulis, menjaga secara
konsisten, tekun, rajin, dan terus
berusaha menulis. Tundukkan semua hambatan dan halangan yang membuat Anda sulit dan malas menulis.
Sebenarnya menulis juga
tidaklah berat asal kita menjadikan menulis sebagai kegiatan yang kita nikmati,
kita hayati, dan kita jadikan sebagai bagian tidak terpisah dari kehidupan
kita. “Menulis bagi saya ibarat bernafas”, kata penulis wanita Naning Pranoto.
Anda bisa pahami pernyataan ini? Bernafas adalah penopang utama hidup. Kalau
sampai tidak bernafas berarti kita mati. Demikian juga dengan menulis. Kalau kita tidak menulis
ibaratnya juga mati.
Semua orang yang pernah
sekolah pasti bisa menulis. Menulis tidak ditentukan oleh tinggi rendahnya
jenjang pendidikan. Tidak sedikit mereka yang menempuh jenjang pendidikan
hingga S3 ternyata juga kurang mampu mengekspresikan pikirannya secara baik.
Sebaliknya, banyak
penulis yang pendidikan formalnya jauh dari cukup, tetapi karena semangatnya
yang luar biasa, mereka menjadi penulis yang berhasil dan diperhitungkan dalam
khazanah kepenulisan Indonesia. Beberapa nama yang dapat dijadikan contoh
adalah; Rosihan Anwar, D Zawawi Imron, Pipiet
Senja, Muhidin M. Dahlan, Pramoedya Ananta Toer, Ajib Rosidi, dan masih
sederet nama lainnya. Menulis, dengan demikian, tidak mensyaratkan secara
mutlak terhadap jenjang pendidikan.
Menurut The Liang Gie dalam
bukunya Terampil Mengarang (2002), ada beberapa nilai
yang dapat kita peroleh dari kegiatan menulis. Pertama, nilai kecerdasan. Dengan sering
menulis, orang akan terbiasa untuk berolah pikir, mencari ide baru,
menganalisis kasus, dan merancang urutan pemikiran yang logis untuk dituangkan
dalam tulisan. Kedua, nilai kejiwaan. Manakala
karya tulis seseorang berhasil menembus “blockade”
redaktur dan lolos dimuat di media massa, apalagi media massa besar dan
terkenal, pasti akan merasakan kepuasan, kelegaan, kegembiraan, dan kebanggaan.
Pada gilirannya dia akan lebih percaya diri. Penulis itu harus percaya diri.
Jangan takut tidak dimuat dan seterusnya, karena tugas penulis adalah menulis. Soal kualitas bisa sambil jalan seiring kemauan
Anda untuk terus berlatih,
menulis, dan menulis. Ketiga, nilai
sosial. Seorang penulis yang telah berhasil menenggerkan karya tulisnya di
media massa, baik lokal maupun nasional, namanya akan semakin dikenal oleh
publik. Wajar
jika ada banyak penghargaan, kritik, dan juga komentar ytang
memiliki arti dan makna signifikan dalam pengembangan karier kepenulisan. Keempat, nilai pendidikan. Dengan
terus-menerus menulis, walaupun kadang tidak disadari, orang telah melakukan
kegiatan mendidik, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Mendidik diri sendiri terjadi manakala kita dipaksa untuk membuka kamus, membaca
buku, mengingat kembali berita atau tulisan dan seterusnya. Sedang mendidik orang lain
terjadi manakala mereka membaca hasil tulisan kita. Kelima, nilai keuangan. Menulis itu
menghasilkan. Karya tulis dalam bentuk apapun di media massa, umumnya dihargai
dengan rupiah. Ada yantg besar, sedang, kecil, atau bahkan tidak dikasih honor.
Tetapi sebenarnya menekuni dunia menulis secara sungguh-sungguh dapat
memberikan keuntungan material secara memadai atau cukup. Hanya memang ukuran
cukup itu sendiri relatif. Keenam, nilai filosofis. Menulis memiliki makna yang
mendalam berkaitan dengan beragam bidang kehidupan.
Proses Kreatif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘kreatif’
diartikan: (1) memiliki daya cipta; (2) memiliki kemampuan untuk menciptakan.
Jadi, proses kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks. Dalam tulisan
ini yang dimaksud dengan proses kreatif adalah proses mencipta tulisan atau
menulis, baik itu tulisan yang bersifat fiksi maupun non-fiksi. Mereka yang
menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis non-fiksi disebut
penulis. Seorang penulis bisa menjadi pengarang, tetapi pengarang pada umumnya
sedikit yang menjadi penulis. Hambatannya, menjadi penulis diperlukan topangan
referensi yang lebih luas dan mendalam, apalagi bila yang bersangkutan menulis
tulisan yang bersifat akademis. Tetapi bukan berarti bahwa menjadi seorang
pengarang itu lebih mudah dibandingkan menjadi penulis. Sebab, baik untuk
menjadi pengarang maupun penulis, keduanya memerlukan modal utama yaitu
memiliki dorongan yang kuat untuk
menulis (the strong will to write) atau ‘lapar menulis' (tidak
sekedar haus).
Agar tulisan yang kita hasilkan bermutu, kita harus
memiliki tradisi membaca yang baik. Hernowo dalam buku Andaikan Buku itu Sepotong Pizza (2003) menyatakan bahwa bacaan
yang baik akan membuat tulisan yang kita buat semakin bermutu. Penulis yang
baik berarti juga pembaca yang baik. Kalau Anda memang berniat serius menulis,
selain memiliki semangat—sebagaimana telah diuraikan di bagian awal tulisan
ini—Anda juga harus rajin membaca. Bacalah apa saja agar wawasan dan
pengetahuan Anda semakin luas. Banyaknya bacaan akan memudahkan Anda menangkap
ide, mengembangkan tulisan, dan menambah bobot tulisan Anda.
Selain itu, aspek teknis yang harus Anda pahami adalah
proses kreatif. Untuk memulai
menulis memang memerlukan proses kreatif, yaitu dimulai dengan adanya ide
(kekayaan batin/intelektual) sebagai bahan tulisan. Ide bisa
diperoleh setiap saat dan kapan
saja. Sumber utamanya adalah bacaan,
pergaulan, perjalanan (traveling), kontemplasi,
konflik dengan diri sendiri (internal) maupun dengan di luar diri kita
(external), pemberontakan (rasa tidak puas), dorongan mengabdi (berbagi ilmu),
kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesi, dan
sebagainya. Semuanya itu bisa dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki proses
kreatif menulis. Kuncinya adalah punya hasrat yang kuat untuk menulis (the strong will to write).
Modal lainnya adalah
berkomitmen disertai disiplin untuk menulis. Jika memang serius ingin bisa
menulis, Anda harus memiliki jadwal yang ditaati. Selain itu juga rajin mengumpulkan ide-ide
yang akan ditulis. Sayangnya, kadang kegiatan rutin yang wajib kita kerjakan
membuat kegiatan menulis jadi tertunda atau terbengkalai sehingga tulisan tidak
pernah selesai. Untuk mensiasatinya, maka perlu menulis di pagi hari (dini
hari) atau malam (hingga larut malam, menjelang pagi). Baik juga memanfaatkan
waktu luang pada akhir pekan atau hari libur. Yang penting, ada waktu khususnya
untuk memberi ‘ruang’ proses kreatif yang kemudian dituangkan dalam bentuk
tulisan (karya nyata). Tetapi sekali lagi, kuncinya
ada pada Anda. Jadi, tunggu apalagi.
Jika memang mau menulis, segera tulis saja, dan jangan menyerah dengan
hambatan. Semoga akan lahir banyak generasi penulis di masa mendatang. Amin.
nice share gan, bagus infonya, mantab
BalasHapussouvenir pernikahan kediri
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya.
Hapus