Buku Berbasis Status
Oleh Ngainun
Naim
Ternyata
sudah cukup lama saya tidak mengisi blog. Padahal, sesungguhnya ada keinginan
yang cukup kuat untuk rutin mengisinya. Tetapi alasan memang selalu ada. Alasan
utamanya ya kesibukan sehari-hari.
Bukan
berarti saya berhenti menulis. Saya terus berusaha menulis setiap hari,
walaupun hanya satu paragraf. Memang, saya berusaha berkomitmen menulis. Tetapi
jujur, tidak mudah menjaga komitmen tersebut.
Kali ini
saya ingin berbagi catatan sederhana tentang buku berbasis status. Catatan ini
terinspirasi dari kegiatan saya yang biasanya menulis status pendek secara
berseri yang saya unggah di facebook. Jadi, catatan kali ini merupakan
pengembangan dari status facebook yang saya tulis sejak senin sampai jumat, 22-26 Februari 2016.
Di catatan
yang berjudul buku berbasis status, saya mengawali dengan sebuah
pertanyaan. ”Buat apa menulis status panjang dan berseri di dinding facebook?”
Biasanya saya tidak banyak memberikan jawaban. Bagi saya, yang penting membuat
catatan. Itu saja. Tetapi setelah saya renungkan, ternyata ada banyak manfaat
yang saya peroleh.
Pertama, menjaga spirit menulis. Semua penulis pernah
mengalami semangat naik turun. Jika sedang semangat, sebuah karya bisa cepat
diselesaikan. Tapi jika sedang malas, bisa berminggu-minggu tidak membuat
tulisan. Catatan yang pada awalnya di facebook semacam ini bisa diposisikan
sebagai sarana menjaga semangat menulis.
Kedua, merawat
ide. Menulis sesering mungkin, berdasarkan pengalaman personal saya, memiliki
fungsi yang cukup strategis dalam menjaring ide. Saya memaksa diri untuk
merangkai hal yang sangat sederhana sekalipun, seperti catatan ini, untuk
ditulis. Konsekuensinya, ide demi ide sering datang menghampiri. Ide bisa
muncul dari kepekaan diri untuk menerima secara kritis berbagai fenomena yang
ada. Buku, peristiwa, bahkan status di jejaring sosial juga memiliki fungsi
sebagai sumber ide. Tinggal bagaimana kita mengelolanya secara baik. Setelah
ide diperoleh barulah ditulis. Tapi tidak sesederhana itu prosesnya. Menulis
tiga paragraf saja tidak jarang prosesnya cukup rumit. Jika Anda sudah rutin
membuat catatan setiap hari, tentu Anda tidak akan bertanya mengapa cukup
rumit. Bagi yang belum, silahkan mencoba.
Ketiga, menulis
bertahap. Menulis buku tidak harus mengikuti model menulis karya
ilmiah yang
ketat seperti skripsi, tesis, atau disertasi. Ada model lain yang bisa dipilih. Mengumpulkan
tulisan-tulisan yang memiliki tema berdekatan menjadi satu buku juga merupakan
strategi yang bisa dipilih. Model semacam ini sesungguhnya lebih mudah
dibandingkan dengan model menulis ilmiah yang ketat. Yang penting temanya
berdekatan, bisa disatukan. Status facebook adalah modalnya. Tentu harus
diperbaiki, diberi referensi, dan ditata ulang. Jadi, status di facebook adalah
salah satu tahap dalam menulis buku.
Keempat, melatih
disiplin. Disiplin menulis itu ternyata tidak mudah. Bagi saya
sungguh berat.
Ya, sungguh sangat berat. Tidak jarang saat malas menyapa, tidak ada satu pun
energi yang menggerakkan untuk menghasilkan karya. Catatan sederhana semacam
ini dapat menjadi sarana untuk berdisiplin. Mungkin memang hanya beberapa
paragraf, tetapi jika rutin dilakukan akan membawa hasil yang cukup lumayan.
Jika satu hari bisa membuat tiga paragraf saja, seminggu sudah menghasilkan
satu artikel yang lumayan panjang. Mungkin sangat sederhana, tetapi itu lebih
baik dibandingkan hanya berkeinginan belaka.
Kelima, berbagi
inspirasi. Saya tidak terlalu berharap banyak atas apa yang saya tulis. Saya
buat tulisan sesungguhnya untuk diri sendiri. Jika kemudian bermanfaat buat
orang lain, tentu saya syukuri. Semestinya ada begitu banyak lagi manfaat yang
bisa diperoleh dari membuat status semacam ini. Silahkan teman-teman
melengkapinya. Salam.
Trenggalek—Tulungagung,
22-26 Februari 2016.
kalo saya status pendek2 aja, jadi gk bisa jadi buku :)
BalasHapusSebenarnya bisa saja Bang, asal direvisi, dikumpulkan, lalu diolah jadi buku. Hanya memang butuh kesabaran mengolahnya.
HapusTerima kasih sudah berkenan membaca dan memberikan komentar. Salam.