Belajar Bahasa Inggris Melalui Radio
Oleh Ngainun Naim
Namanya
Ali. Saya lupa nama lengkapnya. Ia Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di salah
satu kecamatan di Nganjuk. Secara personal saya tidak akrab dengan beliau. Bertemu
pun baru sekali, yaitu saat beliau bersama Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
(ISNU) Nganjuk, Ali Anwar Mh.D, menjemput saya dari Kampus Institut Agama Islam Pangeran Diponegoro Nganjuk untuk
mengisi acara ISNU di sebuah pesantren di Prambon, Nganjuk sekitar tahun 2013.
Alumnus
MAPK Jember dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini tampaknya merupakan aktivis
tulen. Jadwal kegiatannya padat merayap. Itu saya tahu dari ceritanya tentang
jadwalnya pada hari kami bertemu itu. Bahkan saat acara ISNU pun ia permisi
untuk melanjutkan acara di tempat yang lain.
Saat perjalanan
menuju lokasi acara, ada banyak hal yang ia ceritakan. Satu yang saya ingat
adalah pertemanannya dengan ilmuwan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin. Menurut
Mas Ali, ia kenal baik Al Makin karena pernah satu kos di daerah Sapen,
Yogyakarta. Ia bercerita bagaimana Al Makin bermimpi kuliah ke luar negeri
sejak masih semester awal S1. Belajar bahasa Inggris dilakukan Al Makin secara
serius dengan membeli radio. Stasiun radio yang diputar setiap hari adalah BBC
dan beberapa stasiun radio luar negeri lainnya.
Saat itu
saya tidak terlalu memperhatikan cerita Mas Ali. Saya tahu Pak Al Makin sebagai
ilmuwan dan pengelola jurnal bergengsi, Al-Jamiah. Saya juga beberapa kali
bertemu beliau. Selain itu, buku-buku beliau juga saya koleksi. Seingat saya
ada 2, semuanya tentang nabi. Saya juga membaca esai panjangnya di buku Ngaji
Kepada Kiai Bule, Serba-serbi Kehidupan Santri di Barat, (Jakarta: Noura
Books, 2013).
Di buku
yang merupakan kumpulan kisah para santri yang studi di berbagai negara Barat
tersebut, Al Makin menulis, ”Melangkah dari Sapen: Angan-Angan Pencerahan”. Menurut saya, tulisan Al Makin cukup
heroik. Sapen adalah sebuah kampung di sebelah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
yang menjadi titik awal petualangan intelektual Al Makin ke berbagai belahan
dunia. Di kampung ini banyak pemikir lahir, seperti Ahmad Wahib, Simuh, Mukti
Ali, M. Amin Abdullah, Yudian W Asmin—dan Al Makin sendiri tentunya.
Secara
menarik Al Makin berkisah bahwa kini memang zaman global. Persentuhan dengan
dunia luar menjadi realitas yang tidak mungkin dihindari. Dan belajar ke luar
negeri menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Mengapa harus ke luar negeri?
Secara menarik Al Makin menulis:
Jawaban bisa beragam. Tetapi yang pasti: sudah saatnya
kita bangun, mengambil air wudhu, berdoa, baca koran, baca jurnal, baca buku,
dan mengikuti dunia yang terus berputar. Dunia terus maju. Jika kita tidak
mengikuti, kata pujangga Muhammad Iqbal, kita tergilas. Terseret tertatih-tatih
oleh putaran roda waktu, kata Ebiet G. Ade. Tergilas oleh zaman itu sendiri (h.
44).
Al
Makin beruntung karena selepas S-1, ia mendapatkan kesempatan S-2 di McGill
University Kanada dan S-3 dari Heidelberg, Jerman. Perjuangan dan dinamika
intelektual ia ceritakan secara memukau. Tulisan Al Makin terasa khas dan
menawan. Di akhir tulisannya ia menulis bahwa setelah melanglang buana ke
berbagai negara, akhirnya ia kembali ke jejak awalnya: Sapen.
Cerita
Mas Ali teringat kembali saat membaca buku Al Makin yang terbaru. Pada pengantar
buku keren dan sarat dengan informasi bermutu yang berjudul Antara
Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi (Jakarta: Serambi, 2015) Al Makin menulis
bagaimana mimpinya ke luar negeri terdorong oleh Ibu Baroroh Baried yang
menyebutkan banyak buku dalam bahasa Eropa yang berbeda-beda. Inspirasi Ibu
Baroroh Baried membuatnya berjanji untuk bisa pergi dan belajar ke negara
Eropa.
Salah
satu strategi untuk mewujudkan mimpi belajar ke luar negeri adalah dengan
belajar bahasa Inggris secara serius. Berikut saya kutipkan bagaimana
perjuangan Al Makin yang ternyata sama dengan cerita Mas Ali.
Saya membeli
radio merek Sony, dengan band 3. Saya bisa
mendengarkan radio Australia, Amerika, dan Inggris. Saya tidak paham pertama
kali mendengarnya sampai bulan-bulan berikutnya. Saya bisa mengumpakan seperti
orang mendengar tahlilan, wirid, atau zikir, yang dengan senang mengikuti
nadanya tetapi tidak tahu artinya. Saya mendengar radio BBC atau ABC seperti
itu sewaktu saya baru membelinya. Namun, karena saya tetap mendengarnya, selang
satu dan dua semester, saya mulai menangkap apa yang diucapkan oleh para
penyiar berita bahasa Inggris tersebut.
Sewaktu masih duduk di S1, saya juga berusaha keras
membaca buku-buku dalam bahasa Inggris dengan bantuan kamus. Saya berusaha
keras memahami teks itu. Sulit, saya harus menamatkan beberapa buku dengan
membuka kata per kata di kamus (hlm. 7).
Coba Anda
baca kutipan panjang di atas. Gigih dan menginspirasi. Kesuksesan Al Makin
untuk menyelesaikan S2 di Kanada dan S3 di Jerman tidak lepas dari kegigihannya
belajar. Radio menjadi modal penting mengasah kemampuannya berbahasa Inggris.
Ada pesan
yang penting direnungkan dari Al Makin untuk generasi sekarang yang memiliki
banyak peluang untuk mengasah bahasa Inggris. ”Kalian harusnya jauh lebih
pintas daripada saya, dulu hanya dengan menggunakan radio membayangkan pergi ke
Inggris. Saat ini semua fasilitas bisa dinikmati gratis dengan online”.
Nasihat
sederhana ini sungguh menyentak kesadaran. Bagaimana pendapat Anda?
Trenggalek,
27 Desember 2015.
Tidak ada komentar: