BELAJAR DARI JEPANG
Oleh Ngainun
Naim
Jepang merupakan salah satu negara yang mengalami
kemajuan sangat pesat. Ada banyak faktor yang mendukung kemajuan negara ini.
Salah satu yang menjadi kunci suksesnya adalah pembangunan karakter warga
masyarakatnya. Jepang sangat memerhatikan pembentukan karakter warganya. Bukan
berarti masyarakat Jepang memiliki karakter yang semuanya baik, tetapi tidak
sedikit juga karakter baik yang penting untuk kita jadikan sebagai bahan
renungan dan refleksi bersama. Lebih jauh, karakter tersebut penting untuk kita
tiru dan kembangkan dalam konteks Indonesia.
Salah seorang ilmuwan Indonesia yang menyelesaikan
jenjang pendidikan sejak S-1 hingga S-3 di Jepang adalah Romi Satria Wahono. Ia
mengambil studi bidang komputer. Selama sepuluh tahun belajar di negara
tersebut, ia menemukan berbagai hal menarik mengenai karakter masyarakat
Jepang.
Menurut Romi, dari hasil pengamatannya terhadap perilaku
kehidupan masyarakat Jepang tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik
terlahir dari sifat dan sikap sederhana. Pertama,
orang Jepang mengedepankan rasa malu. Fenomena ”malu” yang telah
mendarahdaging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa
implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Romi mencermati
bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal lain terbentuk dari sikap malu ini,
termasuk masalah penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, masalah law enforcement, masalah kebersihan
moral pejabat, dan sebagainya.
Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan
lalu lintas adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang lebih senang memilih
memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan
memotong jalur di tengah jalan raya. Mereka juga sangat taat untuk menunggu
lampu traffic light menjadi hijau,
meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Orang Jepang secara
otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan,
seperti pembelian tiket kereta, di halte bus, masuk stadion untuk menonton
pertandingan olah raga, bahkan untuk memakai toilet umum. Mereka malu terhadap
lingkungannya apabila melanggar aturan atau norma yang sudah menjadi
kesepakatan umum.
Kedua, orang Jepang
berprinsip sangat ekonomis dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap
antikonsumerisme berlebihan ini tampak di berbagai bidang kehidupan. Romi
memiliki pengalaman menarik mengenai hal ini. Pada masa-masa awal tinggal di
Jepang, ia sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang yang ramai
belanja di supermarket pada sekitar pukul 19.30. Selidik punya selidik,
ternyata sudah menjadi hal biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong
harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup.
Contoh lainnya adalah para ibu rumah tangga yang rela
naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah hanya karena lebih murah 10
atau 20 yen. Juga bagaimana orang Jepang lebih memilih naik densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri karena untuk daerah
Tokyo dan sekitarnya ternyata densha swasta
lebih murah. Ada banyak contoh lainnya mengenai bagaimana orang Jepang
berprinsip sangat ekonomis.
Secara perekonomian mereka bukan bangsa yang miskin
karena mereka memiliki peringkat GDP yang sangat tinggi di dunia. Mereka juga
bukan bangsa yang tidak sibuk. Jepang adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya
sangat giat bekerja, bahkan terkenal sebagai bangsa yang gila kerja (workaholic). Namun hebatnya, mereka
tetap memegang prinsip hidup ekonomis.
Ketiga, sopan santun dan
sangat menghormati orang lain. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya
untuk mengatakan gomennasai (maaf)
dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan orang lain. Kalau kita berjalan
tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf,
orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga
apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa sebenarnya
pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf) (Romi
Satria Wahono, Kiat Kreatif di Era Global
(Bandung: ZIP Books, 2009), hlm. 177-178).
Karakter positif yang dimiliki masyarakat Jepang,
sebagaimana dituturkan Romi tersebut merupakan sebuah contoh nyata bahwa
karakter yang baik memiliki peranan penting dalam membangun sebuah bangsa.
Jepang menjadi bangsa yang maju, tetapi karakter warga masyarakatnya tetap kuat
terjaga. Ada mekanisme yang telah terbangun secara kokoh dan sistemik sehingga
saat berbagai perubahan datang, karakter mereka tidak tergoyahkan. Bahkan
karakter tersebut menjadi benteng pelindung yang menjaga merekaa dari
kehilangan identitas.
Tidak ada komentar: